Halaman

Cari Blog Ini

Minggu, 08 Juli 2012

MEDIA MASSA DAN POLLING PENDAPAT UMUM

Definisi Pendapat Umum Banyaknya definisi pendapat umum hampir sebanyak jumlah penulis tentang pendapat umum. Mari kita kebelakang untuk mendapatkan istilah pendapat umum yang digunakan oleh Machiavelli dalam pengertiannya yang modern. Dalam buku Discourses dia menyatakan “bahwa orang yang bijjaksana tidak akan mengabaikan pendapat umum mengenai soal-soal tertentu, seperti pendistribusian jabatan dan kkenaikan pangkat” (Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:2) Sebagai gejala sosial dan politik, pendapat umum tidak banyak mendapat perhatian dari para pemegang kekuasaan sebelum revolusi ideology abad ke-18. Cukup jelas ahwa akibat gagasan dari para ekualitarian dan mayoritarian seperti Locke, Rousseau, Condorcet, Jefferson, dan para pemikir periode 1650-1800 lainnya adalah melebarnya basis kekuatan politik. Sebelum periode tersebut, apa yang dipikirkan masyarakat tidak banyak digubris, masyarakat tidak mempunyai cara untuk membuat pendapatnya diketahui atau diterima dalam menentukan kebijakan. Akan tetapi penekanan pada persamaan politik dan individualism, bersamaan timbulnya perubahan tekhnologi dan ekonomi pada abad ke-18 yang agaknya lebih penting, dimaksudkan agar peran masyarakat yang sedang tumbuh yang sampai sekarang ini tidak bersuara akan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dan jika masyarakat telah mulai mempengaruhi kebijakan, apa yang dipikirkan masyarakat menjadi penting. Salah satu tulisan William MacKinnon yang berjudul “Tiga Ratus Tahun Yang Lalu” pada tahun 1828 menyatakan perlunya pendapat umum dapat dikataan belum ada dalam masyarakat manapun. Kemungkinan, dan tidak disangsikan lagi, beberapa individu telah memilikinya, tetapi hal itu belum dapat dikatakan bersifat umum. (Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:3) James Madison beberapa tahun sebelumnya, telah menulis pendapat umum, sebagaimana disebutkannya, adalah kedaulatan yang nyata (Real Sovereign) dalam setiap Negara merdeka, bukan karena para pemimpinnya dapat mengetahui atau mengikuti setiap mayoritas, tetapi karena pendapat massa menetapkan batasan yang tak dapat dilampauinya para pembuat kebijakan (Policymaker) yang bertanggung jawab. ((Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:3) Menurut Santoso Sastropoetro (1990) dalam Olii (2007:20) istilah opini publik sering digunakan untuk merujuk kepada pendapat-pendapat kolektif dari sejumlah besar orang. Sedangkan Menurut William Albiq (Santoso S.1990) adalah suatu jumlah dari pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu publik. Bernard Hennessy (1990) dalam bukunya Pendapat Umum, mengemukakan lima faktor pendapat umum (opini publik): 1. Adanya isu (Presence of an Issue), harus dapat consensus yang sesungguhnya, opini publik berkumpul di sekitar isu. Isu dapat di definisikan sebagai situasi kontemporer yang mungkin tidak terdapat kesepakatan, paling tidak unsure kontroversi terkandung didalamnya dan juga isu mengandung konflik kontemporer. 2. Nature of Publiks harus ada kelompok yang dikenal dan berkepentingan denga persoalan itu. 3. Pilihan yang sulit (Complex of Preferences), mengacu pada totalitas opini para anggota masyarakat tentang suatu isu. 4. Suatu pernyataan / opini (Expression of opinion). Berbagai pernyataan bertumpuk sekitar isu. Pernyataan bisa melalui kata-kata yang diucapkan atau dicetak, tetapi sewaktu-waktu gerak-gerik, kepalan tinju, lambaian tangan, dan tarik nafas panjang, merupakan suatu pernyataan / opini. Doop berbicara mengenai opini publik “internal” dan “tersembunyi”. Apabila sikap tidak berkenan dengan isu tertentu “tidak diungkapkan”. Menurutnya itulah opini publik yang internal. Mengenai opini publik yang tersembunyi, Doop mengemukakan pendapat ini mengacu pada sikap rakyat mengenai suatu isu, tidak menggugah atau mempengaruhi perilakunya. 5. Jumlah orang yang terlibat (Number of Persons Involved). Opini publik adalah besarnya (Size) masyarakat yang menaruh perhatian terhadap isu. Definisi itu mengemukakan pernyataan mengenai jumlah secara baik sekali dan dirangkum dalam ungkapan “sejumlah orang penting”, dengan maksud mengesampingkan isu-isu kecil dengan pernyataan-pernyataan yang tidak begitu penting dari individu yang sifatnya sangat pribadi. Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa opini publik adalah pendapat yang dilakukan sekelompok orang atau pendapat publik secara umum (dengan jumlah besar) mengenai suatu permasalahan yang memiliki kaitannya dengan kepentingan publik. Misalnya kebijakan pemerintah, terkait dengan tokoh pada saat akan pemilihan umum. Isu yang berkembang biasanya bersifat kontroversial sehingga memicu timbulnya keinginan publik untuk mengungkapkan aspirasinya kepada lembaga atau kepada pihak terkait dengan permasalahan. Publik berhimpun dan membicarakan isu yang terjadi dan berusaha mencari jalan tengah dari permasalahan yang terjadi. Menurut Childs dalam Pawito (2009:145) mengidentifikasi ada dua karakter pokok dalam pendapat umum, yakni: a. Pendapat umum sebagai suatu rasionalitas. Dalam hal ini pendapat umum dilihat sebagai instrument yang sangat penting baik dalam proses artikulasi pendapat dan keinginan rakyat maupun dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dalam tatanan demokrasi. b. Pendapat umum sebagai kontrol sosial. Dalam perspektif ini, pendapat umum ditempatkan sebagai suatu keniscayaan dalam mempromosikan integrasi sosial dan memberikan jaminan akan adanya semacam dasar atau pijakan bagi tindakan serta keputusan-keputusan. Dari karakter keduanya sebenarnya sama-sama menunjukkan peran atau fungsi dari pendapat umum baik dalam konteks kehidupan sosial maupun politik. Perbedaan diantara keduanya terletak pada sifat dari peran atau fungsinya. Pada karakter pendapat umum yang pertama (pendapat umum sebagai suatu rasionalitas) fungsi yang ditunjuk terutama adalah fungsi yang bersifat actual atau nyatta-nyata kelihatan, sedangkan pada karakter yang kedua lebih menunjuk fungsi dalam sifat laten. (Pawito, 2009:145) Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Opini Publik Opini publik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Pendidikan Pendidikan, baik formal maupun non formal, banyak mempengaruhi dan membentuk persepsi seseorang. Orang berpendidikan cukup, memiliki sikap yang lebih mandiri ketimbang kelompok yang kurang berpendidikan. Yang terakhir cenderung mengikut. 1. Kondisi Sosial Masyarakat yang terdiri dari kelompok tertutup akan memiliki pendapat yang lebih sempit daripada kelompok masyarakat terbuka. Dalam masyarakat tertutup, komunikasi dengan luar sulit dilakukan. 2. Kondisi Ekonomi Masyarakat yang kebutuhan minimumnya terpenuhi dan masalah survive bukan lagi merupakan bahaya yang mengancam, adalah masyarakat yang tenang dan demokratis. 3. Ideologi Ideologi adalah hasil kristalisasi nilai yang ada dalam masyarakat. Ia juga merupakan pemikiran khas suatu kelompok. Karena titik tolaknya adalah kepentingan ego, maka ideologi cenderung mengarah pada egoisme atau kelompokisme. 4. Organisasi Dalam organisasi orang berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai ragam kepentingan. Dalam organisasi orang dapat menyalurkan pendapat dan keinginannya. Karena dalam kelompok ini orang cenderung bersedia menyamakan pendapatnya, maka pendapat umum mudah terbentuk. 5. Media Massa Persepsi masyarakat dapat dibentuk oleh media massa. Media massa dapat membentuk pendapat umum dengan cara pemberitaan yang sensasional dan berkesinambungan Proses Pembentukan Opini Publik Menurut Santoso Sastropoetro (1990) yang mengutip George Carslake Thompson dalam Olii (2007:55) kalau publik menghadapi isu maka timbul perbedaan opini karena: 1. Perbedaan pandangan terhadap fakta; 2. Perbedaan perkiraan tentang cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan; 3. Perbedaan motif yang serupa guna mencapai tujuan. Dalam hubungannya dengan penilaian terhadap suatu opini publik, perlu diperhitungkan empat pokok, yaitu: 1. Difusi, yaitu apakah opini yang timbul merupakan suara terbanyak, adanya kepentingan golongan; 2. Presistense, yaitu kepastian atau ketetapan tentang massa berlangsungnya isu karena disamping itu opini perlu diperhitungkan; 3. Intensitas, yaitu ketajaman terhadap suatu isu; 4. Reasonableness, atau pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan beralasan. Ketika publik disuguhi isu tentang suatu pemberitaan yang akan menyita banyak perhatian publik serta isu tersebut ada kaitannya dengan masalah yang terjadi dengan publik, misalnya kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako dan lain sebagainya. Maka biasanya isu tersebut tak akan henti-hentinya dibicarakan. Dalam kondisi yang demikian, tanpa disadari bahwa publik akan terlibat kedalam kelompok diskusi dengan kelompok diskusi publik lainnya. Setiap anggota dari masing-masing kelompok publik tersebut akan mengungkapkan pandangan-pandangannya terhadap isu yang sedang terjadi. Kemudian mereka sama-sama memikirkan dan mencari letak pokok persoalan. Tidakan awal dari adanya diskusi publik tersebut akan berbentuk semerawut, pada tingkat selanjutnya argument-argumen yang dilontarkan akan lebih jelas sehingga mempertemukan pada topik yang sebenarnya. Dalam kondisi yang demikian menurut Olii (2007:57) terdapat tiga tahap pembicaraan yaitu: Tahap I :Tahap masukan yang masih semerawut. Ada ilmuwan Barat yang menyebutnya ssebagai Stage of Brain Storming. Sedangkan Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai Luftatigen Position atau sebagai angin. Tahap II :Tahap pembicaraan yang mulai terarah, mulai membentuk pikiran yang jelas menyatu. Pada tahap ini sebagian ilmuwan disebut sebagai The Of Consolidation dan Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai Fleissigen Position. Tahap III :Tahap ini para ilmuwan menyebutnya The Solid Stage dan Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai Festigen Position. Komunikasi Massa dan Pendapat Umum Menurut Josep A. Devito dalam Nurudin (2009:11-12) komunikasi massa adalah “first, mass communication is communication addressed to masses, to an extremely large science. This does not mean that the audience includes all people or everyone who reads or everyone who watches television; rather is means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and or visual transmitter. Mass communication is perhaps easily and most logically defined by its form: television, radio, newspaper, magazine, films, books, and tapes (pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini tidak bberarti pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila di definisikan menurut bentuknya (televisi, radio, majalah, surat kabar, majalah, film, buku dan kaset pita)) Sedangkan menurut Jhon R Bitner (1996) dalam Nurudin (2009:7) dalam komunikasi massa kita membutuhkan gatekeeper (penapis informasi atau palang pintu) yakni beberapa individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirimkan informasi dari individu ke individu yang lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video tape, compact disk,buku) menurut Bitner dalam definisi komunikasi menekankan pada arti pentinya gatekeeper dalam proses komunikasi massa. Media massa itu tidak berdiri sendiri. Didalamnya ada beberapa individu yang bertugas melakukan pengolahan informasi sebelum informasi itu sampai kepada audiennya. Sepertinya sudah cukup banyak yang telah mendefinisikan tentang komunikasi massa, namun dari kedua definisi komunikasi massa tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan alat atau media yang bertujuan menyampaikan informasi kepada khalayak. Dalam proses perjalanan informasi yang dibawa oleh media telah mengalami berbagai macam proses sehingga mampu disampaikan kepada khalayak dengan baik. Disadari atau tidak bahwa kinerja orang-orang dalam media massa sangat mempengaruhi informasi yang disampaikan kepada khalayak. Apalagi diera seperti saat ini, dimana media dikuasai oleh orang-orang yang memiliki latar belakang partai politik dengan tujuan utama kekuasaan. Media massa digunakan sebaik mungkin untuk menggalang massa, dan mempengaruhi pendapat umum terhadap partai politik yang melatarbelakangi kepemilikan media tersebut. Misalnya kepemilikan stasiun televisi Metrotv yang kepemilikan medianya dilatar belakangi oleh partai Nasional Demokrat, maka penggunaan media itu sendiri banyak memberitakan tentang siapa dibalik Partai tersebut. Media massa di Indonesia saat ini lebih cenderung menganut sistem keberpihakan. Pengalaman selama ini, justru berkembangnya opini publik karena peranan media massa. Masalah sekecil apapun bisa menjadi perkembangan cepat karena media. Karena dalam media sendiri mereka berebutan untuk mengekspos “objek yang dijadikan isu”, sehingga persepsi jamak menjadikan khalayak memiliki pandangan jamak pula. Para pengamat mempunyai berbagai argumentasi berdasarkan dengan pandangan masing-masing individu dengan muatan disiplin ilmu yang mereka kuasai. Pada akhirnya mereka mengadakan pertemuan dengan objek yang sama, maka lahirlah diskusi dengan menghasilkan suatu pandangan dan khalayak yang sedang mengikutinya juga memperoleh satu kesimpulan yang sama. (Olii, 2007:68) Menurut Pawito (2009:149) media massa merupakan saluran pendapat umum. Pendapat umum yang disalurkan melalui saluran lain selain media massa memiliki peluang untuk di amplifikasi oleh media massa. Hal tersebut menyebabkan kesulitan, kalau bukan mustahil, memisahkan pendapat umum dengan media massa. Hasil referendum, kesepakatan antar kelompok dalam sebuah partai politik atau organisasi lainnya mengenai isu-isu krusial, dan tuntutan sebuah partai politik atau organisasi/ institusi mengenai perubahan rancangan undang-undang, misalnya semua menarik perhatian public untuk mengetahuinya yang karenanya media massa berkewajiban menyebarluaskannya. Di dalam media massa, khususnya media cetak surat kabar dan majalah berita, biasanya terdapat rubrik surat pembaca. Rubrik ini merupakan saluran pendapat umum yang sangat nyata. Siapapun dalam menuliskaan keluhan, aspirasi dan saran mengenai berbagai persoalan penting yang menyangkut kepentingan publik. Namun perlu dicatat bahwa surat pembaca tidak bisa dikatakan mewakili populasi. Pendapat yang muncul dalam surat pembaca pada dasarnya lebih merupakan pendapat individual daripada pendapat umum.selanjutnya, pendapat yang dimuat dalaam surat pembaca adalah hasil dari proses gatekeeping dari editor. Editor menerima, menyeleksi, dan mempertimbangkan dari berbagai segi, dan kemudian baru memuatnya kalau memang editor memutuskan surat pembaca tadi dimuat. (Pawito, 2009:149) Terdapat beberapa sebab yang sah mengapa media massa dirasakaan sebagai mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Misalnya dalam dialog politik dan dalam pemecahan konflik sosial secara politis. Salah satu yang diperbuat oleh media massa sebenarnya adalah mempengaruhi keputusan politik dengan memberikan atau tidak memberikan publikasi (dan kadang-kadang pengesahan) kepada para calon dan penyelenggara kebijakan, dan melalui (editorial) membantu sejumlah kecil orang untuk mengambil kesimpulan mengenai isu yang dikemukakan. Alas an lain sangat sederhana bahwa pengambil keputusan politik sering menganggap diri mereka itu penting. ((Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:207) Bila terdapat sejumlah orang berpengaruh besar berpendapat bahwa editorial dari surat kabar Ibukota berpengaruh besar juga dianggap penting, atau siaran-siaran khusus soal masyarakat dari stasiun televisi pernyataan-pernyataan siaran mereka dianggap berpengaruh dan popular, maka penyajian media tersebut menjadi berpengaruh. (Olii, 2007:68) Public Opinion Polling Apa yang disebut polling? Menurut Kamus Inggris-Indonesia Jhon M. Echols dan Hassan Shadaly (1990), Polling berarti penyelelidikan pendapat umum, pemungutan jumlah suara, atau pemungutan suara. Secara sederhana bahwa polling public opinion adalah pemungutan pendapat dari publik. (Olii, 2007:76) Saat ini pemungutan suara dari publik merupakan sesuatu yang populer yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak swasta. Pemungutan polling ini biasanya menggunakan media massa. Pemungutan polling ini dimaksudkan untuk mengetahui atau meramalkan sesuatu hal dimasa mendatang. Misalnya pada hasil pemilihan umum, mengukur tingkat kepuasan kinerja pemerintah, mengetahui selera masyarakat terhadap produk tertentu dan sebagainya. Dan yang jelas bahwa banyak orang yang selalu memperhatikan pada pendapat umum tentang suatu isu yang sedang berkembang, sehingga polling ini dimaksudkan untuk menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan keinginan khalayak. Dengan polling, media massa memiliki fungsi representasi dari pendapat (penilaian, kehendak, dukungan, penolakan) masyarakat atau publik yang tidak dapat dengan serta merta dikatakan mewakilinya. Adanya bias dari asal usul dan latar belakang responden yang mengikuti polling pendapat umum. (Pawito, 2009:157) Polling pendapat umum juga berkembang baik dalam konteks akademik, bisnis, kewartawanan maupun politik. Khusus untuk konteks politik, hal ini sangat kelihatan terutama menjelang pemilihan umum. Perlu untuk dicatat bahwa implikasi dari poling pendapat umum seringkali bersifat problematic dan kontroversial. Padahal pada kenyataannya hasil polling cenderung salah atau tidak sempurna. Dihampir semua kenyataan empirik, Polling pendapat umum tidak sekedar suatu bentuk upaya menampilkan kehendak rakyat, akan tetapi sekaligus juga merupakan suatu bentuk manipulasi kehendak rakyat itu sendiri. Dalam konteks kekinian, polling pendapat umum bisa tampil seolah seperti potret yang sengaja dibuat serba instan mengenai kehendak kolektif yang kendatipun tidak sempurna dan dapat keliru, seolah menunjukkan siapa kita, kemana kita akan pergi, dan apa yang kita inginkan. (Pawito, 2009:157-158) Kesimpulan Media massa dan polling pendapat umum, Media massa merupakan “alat” untuk menyampaikan pendapat umum, karena tidak adanya batasan ruang dan waktu sehingga memungkinkan memiliki pengaruh yang kuat pula. Media massa memberikan penekanan-penekanan pada pemberitaan tertentu sehingga menciptakan isu-isu penting. Dalam hal ini, seperti yang di katakana oleh teori agenda setting (apa yang dianggap penting media, maka akan dianggap penting juga oleh masyarakat). Disadari atau tidak media massa tentu menggiring kita terhadap isu-isu yang sedang berkembang, mau tak mau kita ikut larut dalam isu tersebut sehingga muncullah opini masyarakat. Pada dasarnya media massa berpengaruh dalam menguatkan pendapat atau sikap tapi tidak untuk merubahnya. Namun secara rinci pengaruh media massa adalah: Pengendalian isu publik pada khalayak Terlihat dalam penguatan demi penguatan dalam teori agenda setting yang pada dasarnya akan mempengaruhi agenda masyarakat. Frame khalayak mengenai isu-isu public Saat ini sedang berkembang teori media framing yang mengatakan bahwa frame media mempengaruhi frame khalayak (persepsi khalayak tentang peristiwa dan isu tertentu). Pembentukan pendapat khalayak mengenai isu-isu publik. Hal ini nampak dengan berkembangnya teori spiral of salience yang mengatakan bahwa individu-individu khalayak sampai tingkat tertentu merajuk pada pemberitaan media untuk membangun pendapat-pendapat mengenai peristiwa atau isu tertentu dan juga membandingkan pendapat mana yang banyak pendukungnya. Pandangan, persepsi, dan penilaian terhadap realitas Setiap individu akan cenderung memiliki pandangan yang sama dengan yang dilaporkan oleh media massa terhadap sebuah realitas. Penumbuhan citra pada khalayak mengenai objek Dengan adanya pemberitaan tentang sebuah objek (tokoh, partai politik, pemerintah, organisasi, perusahaan), baik yang positif ataupun yang negatif akan membentuk citra di mata masyarakat sesuai dengan pemberitaan. Media massa memfasilitasi terbetuknya pendapat umum dengan beragam cara termasuk mengamplifikasi pendapat-pendapat dalam bentuk pemberitaan, penyajian tajuk, karikatur, talk show, publikasi hasil polling pendapat umum, dan pemberitaan hasil perhitungan cepat (quick count) ketika berlangsungnya pemilihan umum. Quick count merupakan cara penghitungan pemilihan suara dengan menggunakan metode survey yang melibatkan tehnik pengambilan sampel tertentu. Ini biasanya di lakukan oleh lembaga-lembaga terkait dengan penyelenggaraan pemilihan. Walaupun perhitungan cepat merupakan hasil perhitungan dari sampel, namun terkadang dapat terkesan bersifat krusial. Sifat krusial ini terletak pada dampak psikologis dari pengumuman hasil perhitungan cepat yang seringkali di lakukan sebelum pemungutan suara selesai. Terkadang kita lupa kalau ini bukanlah hasil resmi dari KPU namun kita sudah terlanjur mempercayai hasil dari perhitungan cepat. DAFTAR PUSTAKA Olii, Helena. 2007. Opini Public. PT. Indeks: Jakarta Hannessy, Bernard. 1981. Public Opinion 4th Edition. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Nasution, Amiruddin. 1989. Opini Publik edisi keempat. Penerbit Erlangga: Jakarta Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Pawito. 2009. Komunikasi Politik Media Massa dan Kampanye Pilihan . Jalasutra : Yogyakarta

KRITIK TERHADAP KONTEN MEDIA TELEVISI DALAM MEWUJUDKAN FUNGSI MEDIA YANG MENDIDIK

Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi komunikasi massa adalah yang pertama fungsi informasi dan mendidik, kedua fungsi hiburan, ketiga fungsi persuasi, keempat fungsi transmisi budaya, kelima mendorong kohesi sosial, keenam fungsi pengawasan, ketujuh pewarisan sosial, kedelapan melawan kekuasaan dan kekuatan represif, kesembilan menggugat hubungan trikotomi. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan (UU Penyiaran No.32 Th 2002 Bab 1 pasal 1 (4) ) Televisi sebagai media komunikasi massa yang mampu diakses dan ditonton secara serentak pada waktu dan hari yang sama. Beragam acara dan beragam peristiwa dapat disaksikan melalui layar kaca yang dimiliki hampir seluruh masyakat dunia. Memasuki era abad ke 21 dimana “kebebasan” dimiliki setiap media di Indonesia, yang berdampak pada semakin tumbuh kembangnya industri media di Indonesia. Semakin banyaknya stasiun televisi di Indonesia namun tidak diimbangi dengan filter sebagai pondasi rasa aman dan rasa nyaman bahwa program yang disampaikan memang layak “konsumsi” bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa kecuali kalangan anak-anak. Bahkan banyaknya program acara pada stasiun televisi terkesan memarginalkan program tayangan anak-anak. Hal ini dapat dilihat pada prosentase tayangan pada televisi nasional kita di Indonesia, rata-rata tayangan di televisi masih menayangkan program-program acara dewasa, dan rasanya anak-anak disuguhi dan di jejali dengan tayangan untuk dewasa tersebut. Mau tidak mau, anak-anak menerima keadaan tersebut, sehingga dapat kita lihat anak-anak pada zaman modern ini tumbuh berkembang sebelum waktunya. Sebenarnya, tayangan televisi khusus anak-anak itu ada, namun hanya berapa persen dari layanan stasiun yang bisa dinikmati secara gratis, dan yang lain adalah layanan program acara untuk anak-anak pada televisi siaran berlangganan. Namun, tampaknya kebebasan yang ada sekarang ini tak membuat media televisi menunjukkan pertanggungjawabannya dalam usaha mencerdaskan bangsa melalui tayangan-tayangan yang ada. Tayangan tersebut tak lagi diperhatikan segi kualitasnya melainkan lebih cenderung memperhatikan nilai tukarnya, seberapa untung stasiun televisi terkait jika menayangkan program acara tertentu. Inilah kemudian yang menjadi masalah karena dengan demikian, masyarakat tak lagi dianggap sebagai orang-orang yang akan disuguhi tayangan berkualitas dan mendidik tetapi justru masyarakat ditempatkan sebagai objek yang dijual. Mengapa demikian? Hal ini karena bukan hanya tayangan televisi yang dijadikan komoditas tetapi masyarakat pun demikian; masyarakat akan menentukan rating suatu program acara televisi swasta tertentu. Masih ingatkah kita dengan iklan snack Tory Cheese Cracker , dengan model perempuan “ngangkang” maju mundur dengan dua model laki-laki. Segmentasi iklan tersebut sebenarnya cukup jelas, bahwa iklan tersebut bertujuan menggaet konsumen anak-anak hingga mereka yang berusia remaja, namun pemilihan model dan cara penyajian iklan tidak seharusnya demikian. Untuk selanjutnya iklan majalah detik, dengan kemajuan tekhnologinya yang menunjukkan bahwa majalah Detik bisa diakses melalui media online dengan memakai kecanggihan teknologi saat ini, dengan bertujuan menghemat penggunaan kertas dan ikut serta pelestarian lingkungan, namun pada segmen terakhir terlihat Model dalam iklan tersebut menyingkingkan Majalah Detik dimeja dengan begitu saja sehingga majalah jatuh dari meja dan berhamburan. Satu lagi contoh iklan Air Asia (versi butuh cuti), seorang model dengan geram memukul-mukul mesin fotocopy dan melempar dengan sepatu lalu meninggalkan begitu saja, apakah iklan tersebut mencerminkan tindakan yang baik yang bisa jadi suri tauladan pada para penonton televisi? Jawabannya tidak. Kasus “korban” iklan seperti yang telah saya sebutkan diatas, saya pernah mengalami dan melihat anak-anak memperagakan “joged” ala iklan tory-tory, dan seorang anak mengamuk dengan ibunya karena dirinya (si anak) ingin membaca buku pelajaran dengan menggunakan Ipad, lantas si anak membuang buku-buku pelajaran dengan alasan baca buku tidak dengan internet dibilang kuno. Efek iklan memang benar-benar manjur dalam hal ini. Terlepas dari iklan, kita amati program acara televisi kita. Beberapa stasiun televisi mulai “Latah” dengan acara Talk Show, dan acara komedian. Tapi apakah acara Talk Show dan komedian terbebas dari unsur menyimpang dari aturan dan etika penyiaran? Jawabannya tetap sama, menyimpang dari etika dan muatan pendidikannya minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Perempuan yang menjadi Host dalam sebuah acara Talk Show tertawa ngakak dengan gaya rokernya, hal demikian dapat kita saksikan dalam tayangan Talkshow @Showimah yang ditayangkan oleh Transtv pada setiap hari Senin-Jumat Pukul 16.00-17.00 , laki-laki dengan gaya “cabul” dan terkadang terkesan merendahkan seseorang dapat kita saksikan dalam acara Bukan Empat Mata dengan Tukul sebagai Host yang tayang setiap Senin-Jumat pada pukul 22.00-23.00 , atau bahkan lelaki sebagai Host yang selalu berwajah sinis dan selalu bertanya kepada nara sumber dengan sinis dan bahkan terkadang sering memojokkan nara sumber dapat disaksikan pada program acara yang dimiliki Trans7, Hitam Putih dan Dedy Corbuzier sebagai host. Saya memahami bahwa keadaan demikian bukan realitas sesungguhnya dari kehidupan mereka, realitas yang mereka ciptakan pada acara tersebut bukan serta merta dia (Host) yang menciptakan dengan tujuan merendahkan atau menyinggung seseorang atau kelompok tertentu, mereka meyakini bahwa itu hanya “Just Kidding”, namun apakah tidak ada guyonan yang bermutu, yang lebih berbobot. Belum lagi acara lawakan yang tayang setiap hari mengisi layar televisi kita tanpa jeda, namun tuntutan acara yang kejar tayang memunculkan tidak “mutu” acara yang disuguhkan oleh stasiun televisi kita. Belum lagi hadirnya acara “gombal-gombalan” dengan dewi cinta, bahkan yang terbaru muncul acara “menikah denganku”, kita dibuat semakin kerdil, bahwa untuk melamar seseorang tak usah repot-repot, hanya denga ikut acara “menikah dengan ku” urusan melamar beres. Acara sinetron televisi pun tak luput dari sorotan tatanan etika. Isi sinetron dari zaman dulu sampai sekarang sepertinya sama terus, berkecimpung dalam urusan rebutan lelaki, harta, dan kesemuanya itu berujung pada konflik-konflik, bahkan dengan sadis cerita selalu menghadirkan tokoh utama yang hendak di lenyapkan (dibunuh). Bisa dibilang bahwa acara sinetron di televisi kita rawan dengan konflik. Apakah contoh yang demikian layak “dikonsumsi” secara Massal (tanpa pandang usia). Para pelaku media televisi di Indonesia belum mampu membedakan mana yang menjadi ranah pulik dan mana yang menjadi ranah privat. Semua campur aduk, dan pada kenyataannya kita di dorong oleh realita yang demikian. Contoh riil adalah tayangan Infotaiment. Apa untungnya jika kita tahu ketika artis “A” cerai dengan artis “B”. Hal demikian jelas, bahwa kejadian yang menimpa keluarganya merupakan “aib” yang kemudian menjadi produk dari media televisi kita. Belum lagi kabar seputar artis yang putus nyambung dengan pasangan-pasangannya. Apakah jika tayangan demikian di suguhkan kepada khalayak memiliki kontribusi yang berarti. Public Figure seharusnya menjadi contoh yang menjadi tuntunan bagi para penggemarnya. Bukan malah justru sebaliknya. Acara televisi Reality show yang menyoroti sisi kemiskinan seseorang, yang menggambarkan seolah-olah orang tersebut hidup hanya dengan keadaan yang seadanya. Kemiskinan yang dipertontonkan. Adalagi Reality show yang penuh petualangan dan konflik. Dalam setiap episodenya tim acara tersebut membantu seorang klien untuk mencari keberadaan target yang ingin ditemukannya. Pencarian tesebut berdasarkan hasil penyelidikan tim dan klien. Banyak kejadian yang dianggap “menarik” selama proses pencarian tersebut, mungkin para penonton bisa di buat jengkel, marah, senang, bahagia, sedih dan bahkan bisa menangis. Program tesebut dibuat setting secara berlebihan. Tayangan dapat kita lihat dalam tayangan drama reality show Termehek Mehek Transtv. Belum lagi masalah ajang pencarian bakat yang akhir-akhir ini banyak bermunculan. Hadirnya ajang pencarian bakat ini menjadikan masyarakat hidup dalam tatanan realitas diatas realitas. Hidup yang penuh angan-angan, dan mereka juga disibukkan untuk mengikuti audisi pada satu kota ke kota yang lain. Lantas apakah mereka bisa mewujudkan angan-angan mereka? Yang terakhir adalah munculnya tayangan tentang dunia mistis, tujuan utama acara ini cukup jelas, bahwa kita sebagai manusia diminta agar selalu waspada dan tidak selalu menyerahkan segala urusan yang mempersulit dalam kehidupan kita kepada dunia gaib. Kita yakin bahwa Tuhan itu satu. Namun, munculnya tayangan dunia mistis, membuat Mindset kita berpendapat bahwa dunia lain itu ada. Dan bahkan tanpa kita sadari kita meyakini bahwa dunia lain itu benar-benar ada. Relevansi acara yang demikian apa manfaatnya, jika memang acara yang demikian merupakan strategi intertainment sebagai fungsi menghibur, bisa jadi memang iya. Namun terkadang pemirsa yang menyaksikan tanyangan tersebut malah justru berfikir keras tentang apa yang ingin disampaiakan oleh si pembuat program tersebut. Ketika seseorang membutuhkan sebuah hiburan, yang diharapkan adalah mampu membuat relaksasi fikiran tersendiri, sehingga setelah menyaksikan program acara mampu membuat fikiran lebih tenang. Lemahnya pengawasan Kita tahu bahwa penyiaran di Indonesia itu diatur dan ditetapkan berdasarkan aturan-aturan dan Undang-Undang, dalam penyiaran di atur dengan Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 yang didalamnya juga terdapat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) , namun lemahnya sistem hukum di Indonesia membuat carut marutnya aturan-aturan yang sebenarnya telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Jika kita mengacu pada beberapa pasal yang terdapat pada UU No.32 Th.2002 pada Bab 1 pasal 1 (11) “tatanan nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antar wilayah di Indonesia dan dunia Internasional”. Bab 2 pasal 4 (1) “penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Pasal 5 (c) penyiaran diarahkan untuk : Meningkatkan sumber daya manusia. Bab 3 Pasal 7 (1) “komisi penyiaran sebagaimana yang dimaksud disebut Komisi Penyiaran Indonesia, di singkat KPI”. Pasal 8 ayat 3 Tentang Tugas dan kewajiban KPI (a) KPI menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Dan pada P3SPS Bab 4 pasal 31 tentang Kesopanan, Kepantasan, dan kesusilaan “sesuai dengan kodratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang, ekonomi, budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkan tidak merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan menyinggung nilai-nilai dasar yang memiliki beragam kelompok khalayak tersebut”. Bab 4 Pasal 51 (b) tentang pelecehan kelompok masyarakat tertentu “kelompok masyarakat yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti Waria, banci, Pria yang keperempuanan, perempuan yang kelelaki-lakian, dan sebagainya”. Semua itu cukup jelas apabila kita melihat aturan yang tertuang dalam UU Penyiaran No.32 Th. 2002 dan P3SPS. Namun apakah semua tayangan ditelevisi kita sudah sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan ini. Saya yakin semua itu butuh kecermatan untuk menganlisis fenomena-fenomena seperti yang sudah saya sebutkan, itu hanya sebagian masih ada yang lebih banyak lagi. Menyikapi fenomena yang demikian, kita sebagai masyarakat diminta untuk menjadi masyarakat yang berfikir kritis sehingga kita dapat menyeleksi mana tayangan yang layak kita tonton dan mana tayangan yang seharusnya kita tidak tonton. Mengutip dari Kamelia Jedo dalam opini 3 April 2011 di Kompasiana.com hal ini diperlukan untuk menghindari timbulnya dampak buruk jika kita tidak secara selektif menentukan tontonan televisi yang akan kita konsumsi. Namun demikian, bukan berarti kita harus menjadi apatis terhadap televisi karena di satu sisi televisi memberikan banyak manfaat kepada masyarakat. Untuk itulah, tidak mudah pula mereduksi kelebihan dan dampak positif televisi dan tayangannya hanya karena adanya potensi timbulnya dampak buruk bagi masyarakat. Lebih lanjut, dampak buruk yang ditimbulkan pun tidak seharusnya diabaikan begitu saja karena hal ini akan sangat terkait dengan masa depan masyarakat ketika tayangan-tayangan tidak berkualitas terus mewarnai program pertelevisian swasta. Terlebih ketika segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai jual dijadikan komoditas untuk program acara televisi dan bahkan masyarakat pun menjadi komoditasnya. Globalisasi Teknologi dan Komunikasi Massa Globalisasi media massa beawal dari emajuan tekhnologi komunikasi dan informasi semenjak dasawarsa 1970-an. Dalam pengertian itu kita bertemu dengan istilah popular seperti banjir komunikasi, era informasi, masyarakat informasi atau era stelit. Arus informasi meluas keseluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi acara liputan. Pada akhirnya, sistem media masing-masing Negara cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi disuatu Negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di Negara lain, atau dengan kata lain, menurut istilah Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatren 2000 (1991), dunia kini telah menjadi “Global Village”. (Kuswandi,1996:1) Di Indonesia Globalisasi terus bergulir ditandai era pasar bebas dengan liberalisasinya. Disusul lengsernya kekuasaan orde baru telah membawa perubahan cukup signifikan di semua aspek kehidupan. Media massa ikutan arus globalisasi sehingga kebijakan politik-ideologi media mengalami pergeseran fungsi. Sebagai perusahaan atau lembaga komunikasi, produk-produk media berupa industri informasi tidak hanya sekadar penyebar informasi, pendidikan dan hiburan. Di era otoritarian, keberadaan media massa mendapat pengawasan rezim yang berkuasa. Media massa cenderung menjadi state apparatus, setidaknya digiring menjadi subordinasi dari sistem politik dan pemerintahan sehingga kebijakan media tak boleh menyimpang. Restriksi-restriksi sering dialami pengelola media, jika tak sesuai “aturan main” yang digariskan maka jangan harap kelangsungan media bertahan. Beberapa media massa (terutama media cetak) banyak menjadi korban, mulai dari ancaman, penganiayaan terhadap pekerja media sampai diberlakukannya sanksi pembreidelan. Ini menandakan bahwa kemerdekaan (kebebasan) pers saat itu masih jauh dari harapan. Televisi tampaknya sudah diasosiasikan dengan pesan (yang berbeda yang selalu diingat), organisasi (kompleks yang besar), distribusi (sumber universal bagi semua orang), teknologi tinggi dengan profesi baru (pembuat berita atau cerita televisi). Sudah tidak diragukan lagi bahwa sistem media komunikasi massa pasti akan mengalami perubahan (barangkali secara radikal) karena adanya berbagai kemungkinan dan tantangan teknologi baru dalam semua tahap komunikasi. (Kuswandi,1996:4) Sepintas Sejarah Pers di Indonesia  Berlangsungnya reformasi tahun 1998 ternyata telah mampu mengubah tatakelola dan sistem pemerintahan di republik ini. Salah satu produk dari sistem pemerintahan baru yaitu lahirnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, sekaligus merupakan tonggak awal dimulainya kemerdekaan (kebebasan) pers yang semenjak lama diidamkan.  Terlepas dari kepentingan apa yang melatarbelakangi lahirnya UU Pers ini, yang jelas liberalisasi semakin mendapatkan tempat, bahkan setiap warga negara diperbolehkan menyatakan pendapat termasuk mendirikan perusahaan pers. Dalam UU Pers yaitu Pasal 9 ayat (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sungguh ini menjadi “lahan baru” bagi mereka yang berjiwa wirausaha, peluang segera ditangkap oleh mereka yang memiliki cukup modal untuk mendirikan perusahaan media karena dijamin undang-undang.  Betapa tidak, jika dibanding mendirikan sebuah restoran – mungkin mendirikan perusahaan media (pers) lebih gampang karena proses perizinannya tidaklah rumit! Sejak itulah dunia pers atau media massa tumbuh “bak jamur di musim hujan” seiring euforia reformasi, bahkan sulit dibedakan mana media massa yang dapat dikategorikan dikelola secara profesional atau amatiran.  Tercatat dalam sejarah perkembangannya, jumlah media masaa terutama cetak mengalami lompatan luar biasa tahun 1998, awal era reformasi. Setiap orang sangat mudah mendirikan perusahaan media massa. Media berbasis internet juga berkembang pesat mengikut maraknya pertumbuhan media massa. Komunikasi Massa Sekarang kita tidak lagi menyamakan “komunikasi Massa” atau “media massa” dengan jurnalisme dalam menyebut media selain Koran dan majalah. Tentu saja dalam setiap komunikasi membutuhkan medium atau sarana pengirim pesan seperti kolom di Koran atau gelombang siaran. Namun komunikasi massa merujuk pada keseluruhan institusinya yang merupakan pembawa pesan Koran, majalah, atau stasiun pemancar yang mampu menyampaikan pesan ke jutaan orang yang nyaris serentak. Sebagai pranata sosial keberadaannya tidak hanya membuahkan manfaat namun juga masalah: kontrol, pembatasan pemerintah, sarana penunjang ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara, yakni pertama, komunikasi oleh media, kedua komunikasi untuk massa. Namun ini tidak berarti komunikasi massa adalah komunikasi untuk semua orang. Media tetap cenderung memilih khalayak, dan demikian pula sebaliknya khalayak pun memilih-milih media. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:18) Karakteristik Komunikasi Massa Menurut Rivers, dalam bukunya Mass media and Modern Society 2nd (di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:19-20) karakteristik terpenting pertama komunikasi massa adalah sifatnya yang satu arah. Memang ada televisi atau radio yang mengadakan dialog interaktif yang melibatkan khalayak secara langsung, namun itu hanya untuk keperluan terbatas. Kedua, selalu ada proses seleksi. Bahwa media massa itu memilih khalayaknya, dengan memberikan segmentasi yang tepat sehingga mampu menjawab akan kebutuhan informasi. Ketiga karena media menjangkau khlayak secara luas, jumlah media yang dibutuhkan sebenarnya tidak usah terlalu banyak sehingga kompetisinya selalu berlangsung ketat. Keempat untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu. Kelima komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Ada interaksi antara media massa dan masyarakat. Media tidak hanya mempengaruhi tataran politik, sosial, ekonomi dimana ia berada, namun juga dipengaruhi olehnya. Oleh karena itu untuk memahami media secara baik, kita harus pula memahami lingkungan atau masyarakat dimana media itu berada. Media Televisi Saat Ini Televisi merupakan media dominan komunikasi massa seluruh dunia. Dan sampai sekarang masih terus berkembang. Dengan sekitar 900 stasiun televisi, belanja iklan di televisi terus melonjak dari US$ 561 juta di tahun 1949 menjadi US$ 3,6 Milyar di tahun 1969. Peminat pengiklan ditelevisi sangat besar, namun sayang baiyanya relative sangat mahal. Jika biaya iklan di televisi bisa diturunkan, maka kemungkinan besar belanja iklannya akan tumbuh lebih cepat. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:22) Di Indonesia media televisi bukan lagi dilihat sebagai barang mewah, seperti pertama kali ada. Kini media layar kaca tersebut menjadi barang kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dengan kata lain, informasi sudah merupakan bagian dari hak manusia untuk aktualitas diri. Masuknya media televisi di Indonesia (Jakarta) pada tahun 1962 bertepatan dengan “The 4th Asian Games”. Ketika itu Indonesia sebagai penyelenggara. Peresmian pesta olahraga tersebut bersamaan dengan peresmian penyiaran televisi oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 24 Agustus 1962. Televisi yang pertama kali muncul adalah TVRI dengan jam siar antara 30-60 menit sehari. Jumlah pesawat televisi yang ada di Jakarta sebanyak 10.000 unit. Tujuh tahun setelah TVRI diresmikan (1969), jumlah pesawat televisi di Jakarta meningkat menjadi 65.000 unit, sampai akhir Maret 1972 jumlah televisi di Indonesia adalah 212.580 unit. (Kuswandi, 1996:34) Pertelevisian di Indonesia berkembang pesat terbukti dengan bermunculannya televisi swasta dibarengi dengan deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24 Agustus 1990. Ada beberapa alternative tontonan bagi masyarakat pada saat itu, yaitu TVRI, TVRI Programa 2, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV. Dan kemudian dilanjutkan dengan munculnya stasiun televisi Indosiar yang mulai siaran pada tahun 1994. (Kuswandi, 1996:35) Lengkaplah alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Penyebaran teknologi informasi media massa telah lebih jauh memasuki pola peradaban manusia. Indonesia tidak mungkin menghindar dari “gerakan” teknologi yang kian terus menuntut dan “menodong” sisi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak. Siap atau tidak siap, masyarakat harus menerima kehadiran teknologi komunikasi massa yang cangih tersebut. (Kuswandi, 1996:43) Pasca-reformasi, sejarah pers dan media massa di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, bahkan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Paling tidak, jumlah media cetak di Indonesia mencapai ada 829, ditambah 11 stasiun televisi yang mengudara secara nasional yakni TVRI dan stasiun televisi swasta – AS saja hanya dibatasi empat jaringan televisi nasional (ABC, NBC, CBS dan Fox). Itu juga belum termasuk beberapa stasiun televisi swasta daerah serta TVRI stasiun daerah. Tidak hanya itu, kini juga telah beroperasi tujuh televisi berlangganan satelit, enam televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel. Juga udara kita dibuat bising dengan 1188 stasiun siaran radio di Indonesia (baik RRI maupun radio swasta). (sumber : http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2011/07/28/media-dan-realitas/ ) Acara Televisi Dalam Konteks Informasi dan Pendidikan Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk mencapai tujuan, melalui informasi manusia dapat mengetahui peristiwa yang terjadi disekitarnya, memperluas cakrawala sekaligus memahami kedudukan serta peranannya dalam masyarakat. Jika pada masa orde baru, kecenderungan misi media massa adalah mendukung pembangunan, menempatkan media massa pada posisi terpenting dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional. Media massa, khususnya pers yang membangun, pada hakikatnya berupaya memotivasi masyarakat untuk berparisipasi dalam pembangunan. Pers bukan saja menjadi mediator antara pemerintah dengan masyarakat, akan tetapi sekaligus patner pemerintah dan agen pembaharuan dalam segala kompleksitasnya yang berorientasi pada pembangunan nansional. (Kuswandi, 1996:68) Namun pada perkembangan media massa seperti saat ini, seolah masyarakat dalam mengakses informasi semakin tergelincir menjauh dari tatanan etis pada umumnya. Serbuan budaya “Westernisasi” yang menjangkit pada masyarakat kita, menjadikan masyarakat meninggalkan tatanan ajaran moral yang selama ini dianut oleh tiap-tiap individu. Media televisi mengakibatkan munculnya istilah baru yang disebut “mass culture”. Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa melalui kotak kaca ajaib yang menghasilkan suara dan gambar bergerak. Individu juga dihadapkan pada ralitas sosial yang Nampak di televisi. Tradisi-tradisi lokal (identitas budaya masyarakat) seperti sopan santun, menghormati wanita dan orang tua, menjunjung tinggi bahasa Indonesia, melestarikan tarian daerah kini mulai luntur dan terkikis budaya “western”. Dan budaya-budaya asing lebih mendominasi dalam budaya kita sebagai warga Negara Indonesia. Hal demikian pula merupakan dampak implikasi negatif perkembangan media televisi. Dimana kita mampu mendapatkan sajian acara yang informatif dan sesuai dengan kebutuhan? Media televisi rasanya sudah cukup banyak menyuguhkan berbagai tayangan yang ditampilkan pada setiap harinya. Sebagai masyarakat yang membutuhkan informasi dan hiburan, hendaknya kita menjadi masyarakat yang peka yang mampu menyeleksi mana tayangan yang bermanfaat bagi kita dan generasi kita dan mana tayangan yang justru menyesatkan bagi kita. Pemilahan terhadap informasi yang disajikan oleh media televisi merupakan langkah dan tindakan kita sebagai filter dari semakin besarnya arus budaya westenisasi yang masuk ke Indonesia Sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran dari masyarakat dalam interaksinya dengan kehidupan bermedia pasar juga harus dicermati. Idealnya pasar media harus mencerminan wacana yang sesungguhnya muncul dalam masyarakat. Sebagai komunikator, pihak media seharusnya menyampaikan pesan yang mampu memenuhi masyarakat untuk tahu, dan masyarakatlah yang akan menentukan mana informasi yang sesuai dengankebutuhannya. (Wahyuni, 2000: 209) Dalam fungsi media sebagai “Mass Education”, media adalah sebagai pendidikan nonformal, dan semua bisa mengakses kapanpun dan dimanapun. Dengan mengikut sertakan media massa sebagai konsepsional, kesenjangan antara cita-cita dengan kenyataan daalam bidang pendidikan akan dapat dijembatani dengan lebih cepat. Cita-cita pendidikan bangsa secara ideal telah dituangkan oleh para founding father republik Indonesia dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” pada alenia keempat pembukaan UUD1945, secara konstitusional dalam pasal 31 Bab XIII pendidikan yang berbunyi: 1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran, 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang dan selanjutnya secara strategis telah dituangkan dalam GBHN dan Repelita. (Effendy, 2008:99-100) Namun pada kenyataannya saat ini apakah media televisi di Indonesia sudah berperan aktif dalam membantu menjebatani tecapainya pendidikan non formal secara nasional? Bisa dipastikan bahwa media televisi sudah ikut berperan dalam pendidikan nonformal tersebut. namun pada kenyataannya susunan jam siar yang justru terkadang membuat acara tidak tepat sasaran. Misalnya tayangan Madun yang di siarkan oleh MNC TV, tayangan ini menjawab pada karakteristik komunikasi massa poin kedua. Namun ada kesalahan pada jam tayang pada tayangan tersebut. Waktu ideal yang seharusnya digunakan untuk belajar oleh anak-anak, namun dalam otak anak-anak telah di hegemoni oleh tayangan Madun. Pada pukul 18.00-23.00 beberapa stasiun televisi memberikan sajian program acara humor dan beragam tayangan sinetron. Apakah setting timing program acara yang ini benar? Hal demikian membuktikan carut marutnya jadwal yang diberikan media televisi kita. Memang tidak dapat disangkal bahwa media televisi memiliki kekuatan yang ampuh, yang dapat mempengaruhi pola kebiasaan masyarakat. Itu artinya bahwa peran serta orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menyaksikan tayangan televisi sangat dibutuhkan. Agar kontrol dapat berjalan pada semestinya, serta peran serta orangtua dalam memberikan pengertian-pengertian kepada anaknya dharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan bagi si anak. Teori Pendukung 1. Efek Komunikasi Massa Menurut Nurudin dalam buku Pengantar Komunikasi massa (2009:206) efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R. Stamm dan Jhon E. Bowes (1990) membagi kedua bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek skunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). 2. Teori Komunikasi massa Teori Kultivasi Teori Kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gebner ketika ia menjadi Dekan Annanberg School of Communication di Universitas Pennsylania Amerika Serikat (AS). Menurut teori ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat kultur dilingkungannya. Persepsi apa yang terbangun dibenak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. (Nurudin, 2009:167) Memang apabila dikomparasikan dengan keadaan sekarang, dimana masyarakat bisa mengakses informasi dari manapun (baik cetak atau elektronik) teori kultivasi ini tidak berjalan seperti pada saat teori ini muncul. Namun di Indonesia sendiri tidak semua masyarakat bisa mengakses media massa yang bermacam-macam tersebut. Di wilayah perkotaan mungkin bisa, namun jangan pernah lupa bahwa Indonesia memiliki wilayah yang jauh dari jangkauan perkotaan maupun pemerintahan. Akses media informasi yang mereka peroleh hanya satu, yakni media televisi. Tidak semua anak di Indonesia ini yang beruntung yang setiap saat bisa ditemani oleh orang-orang dewasa pada saat menyaksikan program televisi. Orang-orang tua atau orang yang lebih dewasa kebanyakan disibukkan oleh aktivitas dan rutinitas mereka sehari-hari. Sehingga kontrol terhadap arus informasi yang diperoleh anak-anak tidak seimbang. Belum lagi masalah intelektual yang dimiliki masyarakat Indonesia. Di wilayah pedesaaan saja tidak semua warga lulus tingkat sekolah dasar, jadi kemungkinan mereka tidak paham apa yang disampaikan oleh televisi. Sehingga kadangkala apa yang mereka peroleh dari menonton “ditelan” begitu saja. Misalnya terkait dengan tayangan “Masih Dunia Lain” yang ditayangkan oleh Trans7, jika kita sebagai masyarakat yang memiliki intelektual tinggi menganggap bahwa tayangan tersebut tayangan yang telah di Konstruksikan oleh media itu sendiri, sehingga ketika kita menyasikan tayangan tersebut justru merasa “geli” karena ulah talent yang menurutnya melihat penampakan hantu atau syetan. Namun lain halnya apabila yang menyaksikan tayangan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang memiliki low culture, hal tersebut akan “diamini” bahwa tempat tersebut memang angker. Sehingga apabila mereka melewati rumah kosong, tempat sepi dan gelap, mereka akan merasa ketakutan yang berlebihan. Belum lagi tayangan komedi yang sarat dengan adegan ejek-ejekan antar pemain. Budaya yang demikian jika ditonton oleh anak-anak tanpa dampingan dari orang yang lebih dewasa tentunya akan diterima begitu saja. Bisa jadi fenomena yang demikian merupakan faktor menurunnya sopan santun dikalangan anak –anak terhadap orang tua, meskipun tidak keseluruhan. Tayangan adegan kekerasan, kektika anak-anak menyaksikan tayangan Smack Down misalnya, itu merupakan contoh riil dari terpaan media terhadap anak-anak, sehingga menimbulkan efek kognitif dan perubahan perilaku. Acara musik yang disiarkan secara langsung oleh beberapa Stasiun televisi pada setiap pagi hari pada jam belajar sekolah. Dapat disaksisan juga bahwa mereka yang menoton adalah remaja usia sekolah. Tentunya itu adalah tayangan yang tidak mendidik generasi Indonesia dimasa depan. Kesimpulan Di Indonesia setelah pasca reformasi, pendirian pers begitu banyak dan berkembang pesat. Sehingga kadangkala membingungkan kita terhadap media mana yang akan kita pilih sebagai sarana memperoleh informasi. Namun kembali lagi pada individu kita yang memiliki hak untuk memilih media mana yang paling tepat untuk dirinya memperoleh informasi. Semakin banyaknya media massa yang ada di Indonesia seharusnya malah justru menguntungkan bagi kita, karena tentunya informasi tidak hanya diperoleh dari berbagai pihak. Cakupan informasi yang diperoleh lebih luas, jauh lebih mendalam. Di Indonesia, media televisi nasional telah ada puluhan sehingga kita bisa menentukan chanel mana yang akan kita tonton. Ketika menginginkan program hiburan kita bisa menonton Transtv dan Trans7, ketika ingin menonton sinetron kita bisa beralih chanel pada media televisi Indosiar, MNC TV, SCTV atau RCTI. Sedangkan apabila ingin mendapatkan informasi News bisa beralih pada stasiun Metrotv dan TVone. Dan beragam tayangan televisi lokal di Indonesia tentunya membantu referensi kita untuk mengakses informasi. Banyaknya stasiun televisi namun tidak diimbangi oleh banyaknya program acara untuk anak-anak, atau bahkan banyaknya stasiun televisi tidak diimbangi dengan tayangan yang bermutu. Hal ini seharusnya mendapat perhatian tersendiri dari kalangan pemerintah kita. KPI selaku pihak terkait kadangkala tidak mampu membendung arus informasi yang “bebas” yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesia. UU Penyiaran No.32 Th. 2002 seolah tak berdaya menjerat pelaku media yang terbukti melakukan pelanggaran. Pemerintah dan para pemilik stasiun televisi sarat dengan kepentingan. Ditinjau dari waktu siaran dan isi siaran ternyata tayangan televisi masih banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dalam UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 36 Ayat 1 tentang penyiaran disebutkan, dalam setiap isi siaran di media massa wajib mengandung informasi, pendidikan dan hiburan. Selain itu juga disebutkan isi siaran harus bermanfaat untuk pembentukan intelektualitas, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Juga dalam ayat 3 disebutkan, isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja. Masih dalam ayat ini disebutkan dalam menyiarkan mata acara stasiun televisi diwajibkan agar menyiarkan tayangan pada waktu yang tepat serta lembaga penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Namun apakah iklan Tory-tory Cheese Cracker dari Garuda food, iklan Air Asia versi butuh cuti dan tayangan komedi dan banyak program lain sudah sesuai dengan pernyataan ayat ini? Tentunya, para pelaku media harus memperhatikan efek primer dan efek skunder dari program yang disajikan. Diharapkan dengan adanya peran serta para pelaku media dalam memperhatikan kedua hal tersebut, diharapkan mampu mewujudkan tayangan yang penuh dengan nilai edukasi. Penempatan waktu yang tepat dalam jam siarnya, sehingga anak-anak yang tidak semestinya meyaksikan tidak dipaksakan untuk menonton tayangan tersebut. KPI sebagai pihak terkait dalam memantau isi siaran diharapkan juga tegas dalam menindak setiap stasiun yang melakukan pelanggaran. Tidak hanya sebatas pemanggilan pihak terkait saja, namun adanya tindakan tegas pada pelanggar. Bahkan atau mempidanakannya. DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi cetakan ke 7. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta: Jakarta Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Rivers,William L. Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar, Haris dan Priatna, Dudy. 2004. Media Massa dan Masyarkat Modern. Prenada Media: Jakarta Undang-Undang Penyiaran No.32 Th.2002. penerbit SL Media: Tangerang Selatan Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol.4 No.2: Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar Dalam Era Reformasi.Yogyakarta http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2011/07/28/media-dan-realitas/