Halaman

Cari Blog Ini

Minggu, 08 Juli 2012

MEDIA MASSA DAN POLLING PENDAPAT UMUM

Definisi Pendapat Umum Banyaknya definisi pendapat umum hampir sebanyak jumlah penulis tentang pendapat umum. Mari kita kebelakang untuk mendapatkan istilah pendapat umum yang digunakan oleh Machiavelli dalam pengertiannya yang modern. Dalam buku Discourses dia menyatakan “bahwa orang yang bijjaksana tidak akan mengabaikan pendapat umum mengenai soal-soal tertentu, seperti pendistribusian jabatan dan kkenaikan pangkat” (Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:2) Sebagai gejala sosial dan politik, pendapat umum tidak banyak mendapat perhatian dari para pemegang kekuasaan sebelum revolusi ideology abad ke-18. Cukup jelas ahwa akibat gagasan dari para ekualitarian dan mayoritarian seperti Locke, Rousseau, Condorcet, Jefferson, dan para pemikir periode 1650-1800 lainnya adalah melebarnya basis kekuatan politik. Sebelum periode tersebut, apa yang dipikirkan masyarakat tidak banyak digubris, masyarakat tidak mempunyai cara untuk membuat pendapatnya diketahui atau diterima dalam menentukan kebijakan. Akan tetapi penekanan pada persamaan politik dan individualism, bersamaan timbulnya perubahan tekhnologi dan ekonomi pada abad ke-18 yang agaknya lebih penting, dimaksudkan agar peran masyarakat yang sedang tumbuh yang sampai sekarang ini tidak bersuara akan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dan jika masyarakat telah mulai mempengaruhi kebijakan, apa yang dipikirkan masyarakat menjadi penting. Salah satu tulisan William MacKinnon yang berjudul “Tiga Ratus Tahun Yang Lalu” pada tahun 1828 menyatakan perlunya pendapat umum dapat dikataan belum ada dalam masyarakat manapun. Kemungkinan, dan tidak disangsikan lagi, beberapa individu telah memilikinya, tetapi hal itu belum dapat dikatakan bersifat umum. (Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:3) James Madison beberapa tahun sebelumnya, telah menulis pendapat umum, sebagaimana disebutkannya, adalah kedaulatan yang nyata (Real Sovereign) dalam setiap Negara merdeka, bukan karena para pemimpinnya dapat mengetahui atau mengikuti setiap mayoritas, tetapi karena pendapat massa menetapkan batasan yang tak dapat dilampauinya para pembuat kebijakan (Policymaker) yang bertanggung jawab. ((Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:3) Menurut Santoso Sastropoetro (1990) dalam Olii (2007:20) istilah opini publik sering digunakan untuk merujuk kepada pendapat-pendapat kolektif dari sejumlah besar orang. Sedangkan Menurut William Albiq (Santoso S.1990) adalah suatu jumlah dari pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu publik. Bernard Hennessy (1990) dalam bukunya Pendapat Umum, mengemukakan lima faktor pendapat umum (opini publik): 1. Adanya isu (Presence of an Issue), harus dapat consensus yang sesungguhnya, opini publik berkumpul di sekitar isu. Isu dapat di definisikan sebagai situasi kontemporer yang mungkin tidak terdapat kesepakatan, paling tidak unsure kontroversi terkandung didalamnya dan juga isu mengandung konflik kontemporer. 2. Nature of Publiks harus ada kelompok yang dikenal dan berkepentingan denga persoalan itu. 3. Pilihan yang sulit (Complex of Preferences), mengacu pada totalitas opini para anggota masyarakat tentang suatu isu. 4. Suatu pernyataan / opini (Expression of opinion). Berbagai pernyataan bertumpuk sekitar isu. Pernyataan bisa melalui kata-kata yang diucapkan atau dicetak, tetapi sewaktu-waktu gerak-gerik, kepalan tinju, lambaian tangan, dan tarik nafas panjang, merupakan suatu pernyataan / opini. Doop berbicara mengenai opini publik “internal” dan “tersembunyi”. Apabila sikap tidak berkenan dengan isu tertentu “tidak diungkapkan”. Menurutnya itulah opini publik yang internal. Mengenai opini publik yang tersembunyi, Doop mengemukakan pendapat ini mengacu pada sikap rakyat mengenai suatu isu, tidak menggugah atau mempengaruhi perilakunya. 5. Jumlah orang yang terlibat (Number of Persons Involved). Opini publik adalah besarnya (Size) masyarakat yang menaruh perhatian terhadap isu. Definisi itu mengemukakan pernyataan mengenai jumlah secara baik sekali dan dirangkum dalam ungkapan “sejumlah orang penting”, dengan maksud mengesampingkan isu-isu kecil dengan pernyataan-pernyataan yang tidak begitu penting dari individu yang sifatnya sangat pribadi. Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa opini publik adalah pendapat yang dilakukan sekelompok orang atau pendapat publik secara umum (dengan jumlah besar) mengenai suatu permasalahan yang memiliki kaitannya dengan kepentingan publik. Misalnya kebijakan pemerintah, terkait dengan tokoh pada saat akan pemilihan umum. Isu yang berkembang biasanya bersifat kontroversial sehingga memicu timbulnya keinginan publik untuk mengungkapkan aspirasinya kepada lembaga atau kepada pihak terkait dengan permasalahan. Publik berhimpun dan membicarakan isu yang terjadi dan berusaha mencari jalan tengah dari permasalahan yang terjadi. Menurut Childs dalam Pawito (2009:145) mengidentifikasi ada dua karakter pokok dalam pendapat umum, yakni: a. Pendapat umum sebagai suatu rasionalitas. Dalam hal ini pendapat umum dilihat sebagai instrument yang sangat penting baik dalam proses artikulasi pendapat dan keinginan rakyat maupun dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dalam tatanan demokrasi. b. Pendapat umum sebagai kontrol sosial. Dalam perspektif ini, pendapat umum ditempatkan sebagai suatu keniscayaan dalam mempromosikan integrasi sosial dan memberikan jaminan akan adanya semacam dasar atau pijakan bagi tindakan serta keputusan-keputusan. Dari karakter keduanya sebenarnya sama-sama menunjukkan peran atau fungsi dari pendapat umum baik dalam konteks kehidupan sosial maupun politik. Perbedaan diantara keduanya terletak pada sifat dari peran atau fungsinya. Pada karakter pendapat umum yang pertama (pendapat umum sebagai suatu rasionalitas) fungsi yang ditunjuk terutama adalah fungsi yang bersifat actual atau nyatta-nyata kelihatan, sedangkan pada karakter yang kedua lebih menunjuk fungsi dalam sifat laten. (Pawito, 2009:145) Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Opini Publik Opini publik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : 1. Pendidikan Pendidikan, baik formal maupun non formal, banyak mempengaruhi dan membentuk persepsi seseorang. Orang berpendidikan cukup, memiliki sikap yang lebih mandiri ketimbang kelompok yang kurang berpendidikan. Yang terakhir cenderung mengikut. 1. Kondisi Sosial Masyarakat yang terdiri dari kelompok tertutup akan memiliki pendapat yang lebih sempit daripada kelompok masyarakat terbuka. Dalam masyarakat tertutup, komunikasi dengan luar sulit dilakukan. 2. Kondisi Ekonomi Masyarakat yang kebutuhan minimumnya terpenuhi dan masalah survive bukan lagi merupakan bahaya yang mengancam, adalah masyarakat yang tenang dan demokratis. 3. Ideologi Ideologi adalah hasil kristalisasi nilai yang ada dalam masyarakat. Ia juga merupakan pemikiran khas suatu kelompok. Karena titik tolaknya adalah kepentingan ego, maka ideologi cenderung mengarah pada egoisme atau kelompokisme. 4. Organisasi Dalam organisasi orang berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai ragam kepentingan. Dalam organisasi orang dapat menyalurkan pendapat dan keinginannya. Karena dalam kelompok ini orang cenderung bersedia menyamakan pendapatnya, maka pendapat umum mudah terbentuk. 5. Media Massa Persepsi masyarakat dapat dibentuk oleh media massa. Media massa dapat membentuk pendapat umum dengan cara pemberitaan yang sensasional dan berkesinambungan Proses Pembentukan Opini Publik Menurut Santoso Sastropoetro (1990) yang mengutip George Carslake Thompson dalam Olii (2007:55) kalau publik menghadapi isu maka timbul perbedaan opini karena: 1. Perbedaan pandangan terhadap fakta; 2. Perbedaan perkiraan tentang cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan; 3. Perbedaan motif yang serupa guna mencapai tujuan. Dalam hubungannya dengan penilaian terhadap suatu opini publik, perlu diperhitungkan empat pokok, yaitu: 1. Difusi, yaitu apakah opini yang timbul merupakan suara terbanyak, adanya kepentingan golongan; 2. Presistense, yaitu kepastian atau ketetapan tentang massa berlangsungnya isu karena disamping itu opini perlu diperhitungkan; 3. Intensitas, yaitu ketajaman terhadap suatu isu; 4. Reasonableness, atau pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan beralasan. Ketika publik disuguhi isu tentang suatu pemberitaan yang akan menyita banyak perhatian publik serta isu tersebut ada kaitannya dengan masalah yang terjadi dengan publik, misalnya kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako dan lain sebagainya. Maka biasanya isu tersebut tak akan henti-hentinya dibicarakan. Dalam kondisi yang demikian, tanpa disadari bahwa publik akan terlibat kedalam kelompok diskusi dengan kelompok diskusi publik lainnya. Setiap anggota dari masing-masing kelompok publik tersebut akan mengungkapkan pandangan-pandangannya terhadap isu yang sedang terjadi. Kemudian mereka sama-sama memikirkan dan mencari letak pokok persoalan. Tidakan awal dari adanya diskusi publik tersebut akan berbentuk semerawut, pada tingkat selanjutnya argument-argumen yang dilontarkan akan lebih jelas sehingga mempertemukan pada topik yang sebenarnya. Dalam kondisi yang demikian menurut Olii (2007:57) terdapat tiga tahap pembicaraan yaitu: Tahap I :Tahap masukan yang masih semerawut. Ada ilmuwan Barat yang menyebutnya ssebagai Stage of Brain Storming. Sedangkan Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai Luftatigen Position atau sebagai angin. Tahap II :Tahap pembicaraan yang mulai terarah, mulai membentuk pikiran yang jelas menyatu. Pada tahap ini sebagian ilmuwan disebut sebagai The Of Consolidation dan Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai Fleissigen Position. Tahap III :Tahap ini para ilmuwan menyebutnya The Solid Stage dan Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai Festigen Position. Komunikasi Massa dan Pendapat Umum Menurut Josep A. Devito dalam Nurudin (2009:11-12) komunikasi massa adalah “first, mass communication is communication addressed to masses, to an extremely large science. This does not mean that the audience includes all people or everyone who reads or everyone who watches television; rather is means an audience that is large and generally rather poorly defined. Second, mass communication is communication mediated by audio and or visual transmitter. Mass communication is perhaps easily and most logically defined by its form: television, radio, newspaper, magazine, films, books, and tapes (pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini tidak bberarti pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila di definisikan menurut bentuknya (televisi, radio, majalah, surat kabar, majalah, film, buku dan kaset pita)) Sedangkan menurut Jhon R Bitner (1996) dalam Nurudin (2009:7) dalam komunikasi massa kita membutuhkan gatekeeper (penapis informasi atau palang pintu) yakni beberapa individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirimkan informasi dari individu ke individu yang lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video tape, compact disk,buku) menurut Bitner dalam definisi komunikasi menekankan pada arti pentinya gatekeeper dalam proses komunikasi massa. Media massa itu tidak berdiri sendiri. Didalamnya ada beberapa individu yang bertugas melakukan pengolahan informasi sebelum informasi itu sampai kepada audiennya. Sepertinya sudah cukup banyak yang telah mendefinisikan tentang komunikasi massa, namun dari kedua definisi komunikasi massa tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan alat atau media yang bertujuan menyampaikan informasi kepada khalayak. Dalam proses perjalanan informasi yang dibawa oleh media telah mengalami berbagai macam proses sehingga mampu disampaikan kepada khalayak dengan baik. Disadari atau tidak bahwa kinerja orang-orang dalam media massa sangat mempengaruhi informasi yang disampaikan kepada khalayak. Apalagi diera seperti saat ini, dimana media dikuasai oleh orang-orang yang memiliki latar belakang partai politik dengan tujuan utama kekuasaan. Media massa digunakan sebaik mungkin untuk menggalang massa, dan mempengaruhi pendapat umum terhadap partai politik yang melatarbelakangi kepemilikan media tersebut. Misalnya kepemilikan stasiun televisi Metrotv yang kepemilikan medianya dilatar belakangi oleh partai Nasional Demokrat, maka penggunaan media itu sendiri banyak memberitakan tentang siapa dibalik Partai tersebut. Media massa di Indonesia saat ini lebih cenderung menganut sistem keberpihakan. Pengalaman selama ini, justru berkembangnya opini publik karena peranan media massa. Masalah sekecil apapun bisa menjadi perkembangan cepat karena media. Karena dalam media sendiri mereka berebutan untuk mengekspos “objek yang dijadikan isu”, sehingga persepsi jamak menjadikan khalayak memiliki pandangan jamak pula. Para pengamat mempunyai berbagai argumentasi berdasarkan dengan pandangan masing-masing individu dengan muatan disiplin ilmu yang mereka kuasai. Pada akhirnya mereka mengadakan pertemuan dengan objek yang sama, maka lahirlah diskusi dengan menghasilkan suatu pandangan dan khalayak yang sedang mengikutinya juga memperoleh satu kesimpulan yang sama. (Olii, 2007:68) Menurut Pawito (2009:149) media massa merupakan saluran pendapat umum. Pendapat umum yang disalurkan melalui saluran lain selain media massa memiliki peluang untuk di amplifikasi oleh media massa. Hal tersebut menyebabkan kesulitan, kalau bukan mustahil, memisahkan pendapat umum dengan media massa. Hasil referendum, kesepakatan antar kelompok dalam sebuah partai politik atau organisasi lainnya mengenai isu-isu krusial, dan tuntutan sebuah partai politik atau organisasi/ institusi mengenai perubahan rancangan undang-undang, misalnya semua menarik perhatian public untuk mengetahuinya yang karenanya media massa berkewajiban menyebarluaskannya. Di dalam media massa, khususnya media cetak surat kabar dan majalah berita, biasanya terdapat rubrik surat pembaca. Rubrik ini merupakan saluran pendapat umum yang sangat nyata. Siapapun dalam menuliskaan keluhan, aspirasi dan saran mengenai berbagai persoalan penting yang menyangkut kepentingan publik. Namun perlu dicatat bahwa surat pembaca tidak bisa dikatakan mewakili populasi. Pendapat yang muncul dalam surat pembaca pada dasarnya lebih merupakan pendapat individual daripada pendapat umum.selanjutnya, pendapat yang dimuat dalaam surat pembaca adalah hasil dari proses gatekeeping dari editor. Editor menerima, menyeleksi, dan mempertimbangkan dari berbagai segi, dan kemudian baru memuatnya kalau memang editor memutuskan surat pembaca tadi dimuat. (Pawito, 2009:149) Terdapat beberapa sebab yang sah mengapa media massa dirasakaan sebagai mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Misalnya dalam dialog politik dan dalam pemecahan konflik sosial secara politis. Salah satu yang diperbuat oleh media massa sebenarnya adalah mempengaruhi keputusan politik dengan memberikan atau tidak memberikan publikasi (dan kadang-kadang pengesahan) kepada para calon dan penyelenggara kebijakan, dan melalui (editorial) membantu sejumlah kecil orang untuk mengambil kesimpulan mengenai isu yang dikemukakan. Alas an lain sangat sederhana bahwa pengambil keputusan politik sering menganggap diri mereka itu penting. ((Hannesy, 1981 dialih bahasakan oleh Nasution ,1989:207) Bila terdapat sejumlah orang berpengaruh besar berpendapat bahwa editorial dari surat kabar Ibukota berpengaruh besar juga dianggap penting, atau siaran-siaran khusus soal masyarakat dari stasiun televisi pernyataan-pernyataan siaran mereka dianggap berpengaruh dan popular, maka penyajian media tersebut menjadi berpengaruh. (Olii, 2007:68) Public Opinion Polling Apa yang disebut polling? Menurut Kamus Inggris-Indonesia Jhon M. Echols dan Hassan Shadaly (1990), Polling berarti penyelelidikan pendapat umum, pemungutan jumlah suara, atau pemungutan suara. Secara sederhana bahwa polling public opinion adalah pemungutan pendapat dari publik. (Olii, 2007:76) Saat ini pemungutan suara dari publik merupakan sesuatu yang populer yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak swasta. Pemungutan polling ini biasanya menggunakan media massa. Pemungutan polling ini dimaksudkan untuk mengetahui atau meramalkan sesuatu hal dimasa mendatang. Misalnya pada hasil pemilihan umum, mengukur tingkat kepuasan kinerja pemerintah, mengetahui selera masyarakat terhadap produk tertentu dan sebagainya. Dan yang jelas bahwa banyak orang yang selalu memperhatikan pada pendapat umum tentang suatu isu yang sedang berkembang, sehingga polling ini dimaksudkan untuk menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan keinginan khalayak. Dengan polling, media massa memiliki fungsi representasi dari pendapat (penilaian, kehendak, dukungan, penolakan) masyarakat atau publik yang tidak dapat dengan serta merta dikatakan mewakilinya. Adanya bias dari asal usul dan latar belakang responden yang mengikuti polling pendapat umum. (Pawito, 2009:157) Polling pendapat umum juga berkembang baik dalam konteks akademik, bisnis, kewartawanan maupun politik. Khusus untuk konteks politik, hal ini sangat kelihatan terutama menjelang pemilihan umum. Perlu untuk dicatat bahwa implikasi dari poling pendapat umum seringkali bersifat problematic dan kontroversial. Padahal pada kenyataannya hasil polling cenderung salah atau tidak sempurna. Dihampir semua kenyataan empirik, Polling pendapat umum tidak sekedar suatu bentuk upaya menampilkan kehendak rakyat, akan tetapi sekaligus juga merupakan suatu bentuk manipulasi kehendak rakyat itu sendiri. Dalam konteks kekinian, polling pendapat umum bisa tampil seolah seperti potret yang sengaja dibuat serba instan mengenai kehendak kolektif yang kendatipun tidak sempurna dan dapat keliru, seolah menunjukkan siapa kita, kemana kita akan pergi, dan apa yang kita inginkan. (Pawito, 2009:157-158) Kesimpulan Media massa dan polling pendapat umum, Media massa merupakan “alat” untuk menyampaikan pendapat umum, karena tidak adanya batasan ruang dan waktu sehingga memungkinkan memiliki pengaruh yang kuat pula. Media massa memberikan penekanan-penekanan pada pemberitaan tertentu sehingga menciptakan isu-isu penting. Dalam hal ini, seperti yang di katakana oleh teori agenda setting (apa yang dianggap penting media, maka akan dianggap penting juga oleh masyarakat). Disadari atau tidak media massa tentu menggiring kita terhadap isu-isu yang sedang berkembang, mau tak mau kita ikut larut dalam isu tersebut sehingga muncullah opini masyarakat. Pada dasarnya media massa berpengaruh dalam menguatkan pendapat atau sikap tapi tidak untuk merubahnya. Namun secara rinci pengaruh media massa adalah: Pengendalian isu publik pada khalayak Terlihat dalam penguatan demi penguatan dalam teori agenda setting yang pada dasarnya akan mempengaruhi agenda masyarakat. Frame khalayak mengenai isu-isu public Saat ini sedang berkembang teori media framing yang mengatakan bahwa frame media mempengaruhi frame khalayak (persepsi khalayak tentang peristiwa dan isu tertentu). Pembentukan pendapat khalayak mengenai isu-isu publik. Hal ini nampak dengan berkembangnya teori spiral of salience yang mengatakan bahwa individu-individu khalayak sampai tingkat tertentu merajuk pada pemberitaan media untuk membangun pendapat-pendapat mengenai peristiwa atau isu tertentu dan juga membandingkan pendapat mana yang banyak pendukungnya. Pandangan, persepsi, dan penilaian terhadap realitas Setiap individu akan cenderung memiliki pandangan yang sama dengan yang dilaporkan oleh media massa terhadap sebuah realitas. Penumbuhan citra pada khalayak mengenai objek Dengan adanya pemberitaan tentang sebuah objek (tokoh, partai politik, pemerintah, organisasi, perusahaan), baik yang positif ataupun yang negatif akan membentuk citra di mata masyarakat sesuai dengan pemberitaan. Media massa memfasilitasi terbetuknya pendapat umum dengan beragam cara termasuk mengamplifikasi pendapat-pendapat dalam bentuk pemberitaan, penyajian tajuk, karikatur, talk show, publikasi hasil polling pendapat umum, dan pemberitaan hasil perhitungan cepat (quick count) ketika berlangsungnya pemilihan umum. Quick count merupakan cara penghitungan pemilihan suara dengan menggunakan metode survey yang melibatkan tehnik pengambilan sampel tertentu. Ini biasanya di lakukan oleh lembaga-lembaga terkait dengan penyelenggaraan pemilihan. Walaupun perhitungan cepat merupakan hasil perhitungan dari sampel, namun terkadang dapat terkesan bersifat krusial. Sifat krusial ini terletak pada dampak psikologis dari pengumuman hasil perhitungan cepat yang seringkali di lakukan sebelum pemungutan suara selesai. Terkadang kita lupa kalau ini bukanlah hasil resmi dari KPU namun kita sudah terlanjur mempercayai hasil dari perhitungan cepat. DAFTAR PUSTAKA Olii, Helena. 2007. Opini Public. PT. Indeks: Jakarta Hannessy, Bernard. 1981. Public Opinion 4th Edition. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Nasution, Amiruddin. 1989. Opini Publik edisi keempat. Penerbit Erlangga: Jakarta Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Pawito. 2009. Komunikasi Politik Media Massa dan Kampanye Pilihan . Jalasutra : Yogyakarta

KRITIK TERHADAP KONTEN MEDIA TELEVISI DALAM MEWUJUDKAN FUNGSI MEDIA YANG MENDIDIK

Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi komunikasi massa adalah yang pertama fungsi informasi dan mendidik, kedua fungsi hiburan, ketiga fungsi persuasi, keempat fungsi transmisi budaya, kelima mendorong kohesi sosial, keenam fungsi pengawasan, ketujuh pewarisan sosial, kedelapan melawan kekuasaan dan kekuatan represif, kesembilan menggugat hubungan trikotomi. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan (UU Penyiaran No.32 Th 2002 Bab 1 pasal 1 (4) ) Televisi sebagai media komunikasi massa yang mampu diakses dan ditonton secara serentak pada waktu dan hari yang sama. Beragam acara dan beragam peristiwa dapat disaksikan melalui layar kaca yang dimiliki hampir seluruh masyakat dunia. Memasuki era abad ke 21 dimana “kebebasan” dimiliki setiap media di Indonesia, yang berdampak pada semakin tumbuh kembangnya industri media di Indonesia. Semakin banyaknya stasiun televisi di Indonesia namun tidak diimbangi dengan filter sebagai pondasi rasa aman dan rasa nyaman bahwa program yang disampaikan memang layak “konsumsi” bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa kecuali kalangan anak-anak. Bahkan banyaknya program acara pada stasiun televisi terkesan memarginalkan program tayangan anak-anak. Hal ini dapat dilihat pada prosentase tayangan pada televisi nasional kita di Indonesia, rata-rata tayangan di televisi masih menayangkan program-program acara dewasa, dan rasanya anak-anak disuguhi dan di jejali dengan tayangan untuk dewasa tersebut. Mau tidak mau, anak-anak menerima keadaan tersebut, sehingga dapat kita lihat anak-anak pada zaman modern ini tumbuh berkembang sebelum waktunya. Sebenarnya, tayangan televisi khusus anak-anak itu ada, namun hanya berapa persen dari layanan stasiun yang bisa dinikmati secara gratis, dan yang lain adalah layanan program acara untuk anak-anak pada televisi siaran berlangganan. Namun, tampaknya kebebasan yang ada sekarang ini tak membuat media televisi menunjukkan pertanggungjawabannya dalam usaha mencerdaskan bangsa melalui tayangan-tayangan yang ada. Tayangan tersebut tak lagi diperhatikan segi kualitasnya melainkan lebih cenderung memperhatikan nilai tukarnya, seberapa untung stasiun televisi terkait jika menayangkan program acara tertentu. Inilah kemudian yang menjadi masalah karena dengan demikian, masyarakat tak lagi dianggap sebagai orang-orang yang akan disuguhi tayangan berkualitas dan mendidik tetapi justru masyarakat ditempatkan sebagai objek yang dijual. Mengapa demikian? Hal ini karena bukan hanya tayangan televisi yang dijadikan komoditas tetapi masyarakat pun demikian; masyarakat akan menentukan rating suatu program acara televisi swasta tertentu. Masih ingatkah kita dengan iklan snack Tory Cheese Cracker , dengan model perempuan “ngangkang” maju mundur dengan dua model laki-laki. Segmentasi iklan tersebut sebenarnya cukup jelas, bahwa iklan tersebut bertujuan menggaet konsumen anak-anak hingga mereka yang berusia remaja, namun pemilihan model dan cara penyajian iklan tidak seharusnya demikian. Untuk selanjutnya iklan majalah detik, dengan kemajuan tekhnologinya yang menunjukkan bahwa majalah Detik bisa diakses melalui media online dengan memakai kecanggihan teknologi saat ini, dengan bertujuan menghemat penggunaan kertas dan ikut serta pelestarian lingkungan, namun pada segmen terakhir terlihat Model dalam iklan tersebut menyingkingkan Majalah Detik dimeja dengan begitu saja sehingga majalah jatuh dari meja dan berhamburan. Satu lagi contoh iklan Air Asia (versi butuh cuti), seorang model dengan geram memukul-mukul mesin fotocopy dan melempar dengan sepatu lalu meninggalkan begitu saja, apakah iklan tersebut mencerminkan tindakan yang baik yang bisa jadi suri tauladan pada para penonton televisi? Jawabannya tidak. Kasus “korban” iklan seperti yang telah saya sebutkan diatas, saya pernah mengalami dan melihat anak-anak memperagakan “joged” ala iklan tory-tory, dan seorang anak mengamuk dengan ibunya karena dirinya (si anak) ingin membaca buku pelajaran dengan menggunakan Ipad, lantas si anak membuang buku-buku pelajaran dengan alasan baca buku tidak dengan internet dibilang kuno. Efek iklan memang benar-benar manjur dalam hal ini. Terlepas dari iklan, kita amati program acara televisi kita. Beberapa stasiun televisi mulai “Latah” dengan acara Talk Show, dan acara komedian. Tapi apakah acara Talk Show dan komedian terbebas dari unsur menyimpang dari aturan dan etika penyiaran? Jawabannya tetap sama, menyimpang dari etika dan muatan pendidikannya minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Perempuan yang menjadi Host dalam sebuah acara Talk Show tertawa ngakak dengan gaya rokernya, hal demikian dapat kita saksikan dalam tayangan Talkshow @Showimah yang ditayangkan oleh Transtv pada setiap hari Senin-Jumat Pukul 16.00-17.00 , laki-laki dengan gaya “cabul” dan terkadang terkesan merendahkan seseorang dapat kita saksikan dalam acara Bukan Empat Mata dengan Tukul sebagai Host yang tayang setiap Senin-Jumat pada pukul 22.00-23.00 , atau bahkan lelaki sebagai Host yang selalu berwajah sinis dan selalu bertanya kepada nara sumber dengan sinis dan bahkan terkadang sering memojokkan nara sumber dapat disaksikan pada program acara yang dimiliki Trans7, Hitam Putih dan Dedy Corbuzier sebagai host. Saya memahami bahwa keadaan demikian bukan realitas sesungguhnya dari kehidupan mereka, realitas yang mereka ciptakan pada acara tersebut bukan serta merta dia (Host) yang menciptakan dengan tujuan merendahkan atau menyinggung seseorang atau kelompok tertentu, mereka meyakini bahwa itu hanya “Just Kidding”, namun apakah tidak ada guyonan yang bermutu, yang lebih berbobot. Belum lagi acara lawakan yang tayang setiap hari mengisi layar televisi kita tanpa jeda, namun tuntutan acara yang kejar tayang memunculkan tidak “mutu” acara yang disuguhkan oleh stasiun televisi kita. Belum lagi hadirnya acara “gombal-gombalan” dengan dewi cinta, bahkan yang terbaru muncul acara “menikah denganku”, kita dibuat semakin kerdil, bahwa untuk melamar seseorang tak usah repot-repot, hanya denga ikut acara “menikah dengan ku” urusan melamar beres. Acara sinetron televisi pun tak luput dari sorotan tatanan etika. Isi sinetron dari zaman dulu sampai sekarang sepertinya sama terus, berkecimpung dalam urusan rebutan lelaki, harta, dan kesemuanya itu berujung pada konflik-konflik, bahkan dengan sadis cerita selalu menghadirkan tokoh utama yang hendak di lenyapkan (dibunuh). Bisa dibilang bahwa acara sinetron di televisi kita rawan dengan konflik. Apakah contoh yang demikian layak “dikonsumsi” secara Massal (tanpa pandang usia). Para pelaku media televisi di Indonesia belum mampu membedakan mana yang menjadi ranah pulik dan mana yang menjadi ranah privat. Semua campur aduk, dan pada kenyataannya kita di dorong oleh realita yang demikian. Contoh riil adalah tayangan Infotaiment. Apa untungnya jika kita tahu ketika artis “A” cerai dengan artis “B”. Hal demikian jelas, bahwa kejadian yang menimpa keluarganya merupakan “aib” yang kemudian menjadi produk dari media televisi kita. Belum lagi kabar seputar artis yang putus nyambung dengan pasangan-pasangannya. Apakah jika tayangan demikian di suguhkan kepada khalayak memiliki kontribusi yang berarti. Public Figure seharusnya menjadi contoh yang menjadi tuntunan bagi para penggemarnya. Bukan malah justru sebaliknya. Acara televisi Reality show yang menyoroti sisi kemiskinan seseorang, yang menggambarkan seolah-olah orang tersebut hidup hanya dengan keadaan yang seadanya. Kemiskinan yang dipertontonkan. Adalagi Reality show yang penuh petualangan dan konflik. Dalam setiap episodenya tim acara tersebut membantu seorang klien untuk mencari keberadaan target yang ingin ditemukannya. Pencarian tesebut berdasarkan hasil penyelidikan tim dan klien. Banyak kejadian yang dianggap “menarik” selama proses pencarian tersebut, mungkin para penonton bisa di buat jengkel, marah, senang, bahagia, sedih dan bahkan bisa menangis. Program tesebut dibuat setting secara berlebihan. Tayangan dapat kita lihat dalam tayangan drama reality show Termehek Mehek Transtv. Belum lagi masalah ajang pencarian bakat yang akhir-akhir ini banyak bermunculan. Hadirnya ajang pencarian bakat ini menjadikan masyarakat hidup dalam tatanan realitas diatas realitas. Hidup yang penuh angan-angan, dan mereka juga disibukkan untuk mengikuti audisi pada satu kota ke kota yang lain. Lantas apakah mereka bisa mewujudkan angan-angan mereka? Yang terakhir adalah munculnya tayangan tentang dunia mistis, tujuan utama acara ini cukup jelas, bahwa kita sebagai manusia diminta agar selalu waspada dan tidak selalu menyerahkan segala urusan yang mempersulit dalam kehidupan kita kepada dunia gaib. Kita yakin bahwa Tuhan itu satu. Namun, munculnya tayangan dunia mistis, membuat Mindset kita berpendapat bahwa dunia lain itu ada. Dan bahkan tanpa kita sadari kita meyakini bahwa dunia lain itu benar-benar ada. Relevansi acara yang demikian apa manfaatnya, jika memang acara yang demikian merupakan strategi intertainment sebagai fungsi menghibur, bisa jadi memang iya. Namun terkadang pemirsa yang menyaksikan tanyangan tersebut malah justru berfikir keras tentang apa yang ingin disampaiakan oleh si pembuat program tersebut. Ketika seseorang membutuhkan sebuah hiburan, yang diharapkan adalah mampu membuat relaksasi fikiran tersendiri, sehingga setelah menyaksikan program acara mampu membuat fikiran lebih tenang. Lemahnya pengawasan Kita tahu bahwa penyiaran di Indonesia itu diatur dan ditetapkan berdasarkan aturan-aturan dan Undang-Undang, dalam penyiaran di atur dengan Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 yang didalamnya juga terdapat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) , namun lemahnya sistem hukum di Indonesia membuat carut marutnya aturan-aturan yang sebenarnya telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Jika kita mengacu pada beberapa pasal yang terdapat pada UU No.32 Th.2002 pada Bab 1 pasal 1 (11) “tatanan nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antar wilayah di Indonesia dan dunia Internasional”. Bab 2 pasal 4 (1) “penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Pasal 5 (c) penyiaran diarahkan untuk : Meningkatkan sumber daya manusia. Bab 3 Pasal 7 (1) “komisi penyiaran sebagaimana yang dimaksud disebut Komisi Penyiaran Indonesia, di singkat KPI”. Pasal 8 ayat 3 Tentang Tugas dan kewajiban KPI (a) KPI menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Dan pada P3SPS Bab 4 pasal 31 tentang Kesopanan, Kepantasan, dan kesusilaan “sesuai dengan kodratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang, ekonomi, budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkan tidak merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan menyinggung nilai-nilai dasar yang memiliki beragam kelompok khalayak tersebut”. Bab 4 Pasal 51 (b) tentang pelecehan kelompok masyarakat tertentu “kelompok masyarakat yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti Waria, banci, Pria yang keperempuanan, perempuan yang kelelaki-lakian, dan sebagainya”. Semua itu cukup jelas apabila kita melihat aturan yang tertuang dalam UU Penyiaran No.32 Th. 2002 dan P3SPS. Namun apakah semua tayangan ditelevisi kita sudah sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan ini. Saya yakin semua itu butuh kecermatan untuk menganlisis fenomena-fenomena seperti yang sudah saya sebutkan, itu hanya sebagian masih ada yang lebih banyak lagi. Menyikapi fenomena yang demikian, kita sebagai masyarakat diminta untuk menjadi masyarakat yang berfikir kritis sehingga kita dapat menyeleksi mana tayangan yang layak kita tonton dan mana tayangan yang seharusnya kita tidak tonton. Mengutip dari Kamelia Jedo dalam opini 3 April 2011 di Kompasiana.com hal ini diperlukan untuk menghindari timbulnya dampak buruk jika kita tidak secara selektif menentukan tontonan televisi yang akan kita konsumsi. Namun demikian, bukan berarti kita harus menjadi apatis terhadap televisi karena di satu sisi televisi memberikan banyak manfaat kepada masyarakat. Untuk itulah, tidak mudah pula mereduksi kelebihan dan dampak positif televisi dan tayangannya hanya karena adanya potensi timbulnya dampak buruk bagi masyarakat. Lebih lanjut, dampak buruk yang ditimbulkan pun tidak seharusnya diabaikan begitu saja karena hal ini akan sangat terkait dengan masa depan masyarakat ketika tayangan-tayangan tidak berkualitas terus mewarnai program pertelevisian swasta. Terlebih ketika segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai jual dijadikan komoditas untuk program acara televisi dan bahkan masyarakat pun menjadi komoditasnya. Globalisasi Teknologi dan Komunikasi Massa Globalisasi media massa beawal dari emajuan tekhnologi komunikasi dan informasi semenjak dasawarsa 1970-an. Dalam pengertian itu kita bertemu dengan istilah popular seperti banjir komunikasi, era informasi, masyarakat informasi atau era stelit. Arus informasi meluas keseluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi acara liputan. Pada akhirnya, sistem media masing-masing Negara cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi disuatu Negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di Negara lain, atau dengan kata lain, menurut istilah Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatren 2000 (1991), dunia kini telah menjadi “Global Village”. (Kuswandi,1996:1) Di Indonesia Globalisasi terus bergulir ditandai era pasar bebas dengan liberalisasinya. Disusul lengsernya kekuasaan orde baru telah membawa perubahan cukup signifikan di semua aspek kehidupan. Media massa ikutan arus globalisasi sehingga kebijakan politik-ideologi media mengalami pergeseran fungsi. Sebagai perusahaan atau lembaga komunikasi, produk-produk media berupa industri informasi tidak hanya sekadar penyebar informasi, pendidikan dan hiburan. Di era otoritarian, keberadaan media massa mendapat pengawasan rezim yang berkuasa. Media massa cenderung menjadi state apparatus, setidaknya digiring menjadi subordinasi dari sistem politik dan pemerintahan sehingga kebijakan media tak boleh menyimpang. Restriksi-restriksi sering dialami pengelola media, jika tak sesuai “aturan main” yang digariskan maka jangan harap kelangsungan media bertahan. Beberapa media massa (terutama media cetak) banyak menjadi korban, mulai dari ancaman, penganiayaan terhadap pekerja media sampai diberlakukannya sanksi pembreidelan. Ini menandakan bahwa kemerdekaan (kebebasan) pers saat itu masih jauh dari harapan. Televisi tampaknya sudah diasosiasikan dengan pesan (yang berbeda yang selalu diingat), organisasi (kompleks yang besar), distribusi (sumber universal bagi semua orang), teknologi tinggi dengan profesi baru (pembuat berita atau cerita televisi). Sudah tidak diragukan lagi bahwa sistem media komunikasi massa pasti akan mengalami perubahan (barangkali secara radikal) karena adanya berbagai kemungkinan dan tantangan teknologi baru dalam semua tahap komunikasi. (Kuswandi,1996:4) Sepintas Sejarah Pers di Indonesia  Berlangsungnya reformasi tahun 1998 ternyata telah mampu mengubah tatakelola dan sistem pemerintahan di republik ini. Salah satu produk dari sistem pemerintahan baru yaitu lahirnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, sekaligus merupakan tonggak awal dimulainya kemerdekaan (kebebasan) pers yang semenjak lama diidamkan.  Terlepas dari kepentingan apa yang melatarbelakangi lahirnya UU Pers ini, yang jelas liberalisasi semakin mendapatkan tempat, bahkan setiap warga negara diperbolehkan menyatakan pendapat termasuk mendirikan perusahaan pers. Dalam UU Pers yaitu Pasal 9 ayat (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sungguh ini menjadi “lahan baru” bagi mereka yang berjiwa wirausaha, peluang segera ditangkap oleh mereka yang memiliki cukup modal untuk mendirikan perusahaan media karena dijamin undang-undang.  Betapa tidak, jika dibanding mendirikan sebuah restoran – mungkin mendirikan perusahaan media (pers) lebih gampang karena proses perizinannya tidaklah rumit! Sejak itulah dunia pers atau media massa tumbuh “bak jamur di musim hujan” seiring euforia reformasi, bahkan sulit dibedakan mana media massa yang dapat dikategorikan dikelola secara profesional atau amatiran.  Tercatat dalam sejarah perkembangannya, jumlah media masaa terutama cetak mengalami lompatan luar biasa tahun 1998, awal era reformasi. Setiap orang sangat mudah mendirikan perusahaan media massa. Media berbasis internet juga berkembang pesat mengikut maraknya pertumbuhan media massa. Komunikasi Massa Sekarang kita tidak lagi menyamakan “komunikasi Massa” atau “media massa” dengan jurnalisme dalam menyebut media selain Koran dan majalah. Tentu saja dalam setiap komunikasi membutuhkan medium atau sarana pengirim pesan seperti kolom di Koran atau gelombang siaran. Namun komunikasi massa merujuk pada keseluruhan institusinya yang merupakan pembawa pesan Koran, majalah, atau stasiun pemancar yang mampu menyampaikan pesan ke jutaan orang yang nyaris serentak. Sebagai pranata sosial keberadaannya tidak hanya membuahkan manfaat namun juga masalah: kontrol, pembatasan pemerintah, sarana penunjang ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara, yakni pertama, komunikasi oleh media, kedua komunikasi untuk massa. Namun ini tidak berarti komunikasi massa adalah komunikasi untuk semua orang. Media tetap cenderung memilih khalayak, dan demikian pula sebaliknya khalayak pun memilih-milih media. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:18) Karakteristik Komunikasi Massa Menurut Rivers, dalam bukunya Mass media and Modern Society 2nd (di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:19-20) karakteristik terpenting pertama komunikasi massa adalah sifatnya yang satu arah. Memang ada televisi atau radio yang mengadakan dialog interaktif yang melibatkan khalayak secara langsung, namun itu hanya untuk keperluan terbatas. Kedua, selalu ada proses seleksi. Bahwa media massa itu memilih khalayaknya, dengan memberikan segmentasi yang tepat sehingga mampu menjawab akan kebutuhan informasi. Ketiga karena media menjangkau khlayak secara luas, jumlah media yang dibutuhkan sebenarnya tidak usah terlalu banyak sehingga kompetisinya selalu berlangsung ketat. Keempat untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu. Kelima komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Ada interaksi antara media massa dan masyarakat. Media tidak hanya mempengaruhi tataran politik, sosial, ekonomi dimana ia berada, namun juga dipengaruhi olehnya. Oleh karena itu untuk memahami media secara baik, kita harus pula memahami lingkungan atau masyarakat dimana media itu berada. Media Televisi Saat Ini Televisi merupakan media dominan komunikasi massa seluruh dunia. Dan sampai sekarang masih terus berkembang. Dengan sekitar 900 stasiun televisi, belanja iklan di televisi terus melonjak dari US$ 561 juta di tahun 1949 menjadi US$ 3,6 Milyar di tahun 1969. Peminat pengiklan ditelevisi sangat besar, namun sayang baiyanya relative sangat mahal. Jika biaya iklan di televisi bisa diturunkan, maka kemungkinan besar belanja iklannya akan tumbuh lebih cepat. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:22) Di Indonesia media televisi bukan lagi dilihat sebagai barang mewah, seperti pertama kali ada. Kini media layar kaca tersebut menjadi barang kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dengan kata lain, informasi sudah merupakan bagian dari hak manusia untuk aktualitas diri. Masuknya media televisi di Indonesia (Jakarta) pada tahun 1962 bertepatan dengan “The 4th Asian Games”. Ketika itu Indonesia sebagai penyelenggara. Peresmian pesta olahraga tersebut bersamaan dengan peresmian penyiaran televisi oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 24 Agustus 1962. Televisi yang pertama kali muncul adalah TVRI dengan jam siar antara 30-60 menit sehari. Jumlah pesawat televisi yang ada di Jakarta sebanyak 10.000 unit. Tujuh tahun setelah TVRI diresmikan (1969), jumlah pesawat televisi di Jakarta meningkat menjadi 65.000 unit, sampai akhir Maret 1972 jumlah televisi di Indonesia adalah 212.580 unit. (Kuswandi, 1996:34) Pertelevisian di Indonesia berkembang pesat terbukti dengan bermunculannya televisi swasta dibarengi dengan deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24 Agustus 1990. Ada beberapa alternative tontonan bagi masyarakat pada saat itu, yaitu TVRI, TVRI Programa 2, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV. Dan kemudian dilanjutkan dengan munculnya stasiun televisi Indosiar yang mulai siaran pada tahun 1994. (Kuswandi, 1996:35) Lengkaplah alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Penyebaran teknologi informasi media massa telah lebih jauh memasuki pola peradaban manusia. Indonesia tidak mungkin menghindar dari “gerakan” teknologi yang kian terus menuntut dan “menodong” sisi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak. Siap atau tidak siap, masyarakat harus menerima kehadiran teknologi komunikasi massa yang cangih tersebut. (Kuswandi, 1996:43) Pasca-reformasi, sejarah pers dan media massa di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, bahkan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Paling tidak, jumlah media cetak di Indonesia mencapai ada 829, ditambah 11 stasiun televisi yang mengudara secara nasional yakni TVRI dan stasiun televisi swasta – AS saja hanya dibatasi empat jaringan televisi nasional (ABC, NBC, CBS dan Fox). Itu juga belum termasuk beberapa stasiun televisi swasta daerah serta TVRI stasiun daerah. Tidak hanya itu, kini juga telah beroperasi tujuh televisi berlangganan satelit, enam televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel. Juga udara kita dibuat bising dengan 1188 stasiun siaran radio di Indonesia (baik RRI maupun radio swasta). (sumber : http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2011/07/28/media-dan-realitas/ ) Acara Televisi Dalam Konteks Informasi dan Pendidikan Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk mencapai tujuan, melalui informasi manusia dapat mengetahui peristiwa yang terjadi disekitarnya, memperluas cakrawala sekaligus memahami kedudukan serta peranannya dalam masyarakat. Jika pada masa orde baru, kecenderungan misi media massa adalah mendukung pembangunan, menempatkan media massa pada posisi terpenting dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional. Media massa, khususnya pers yang membangun, pada hakikatnya berupaya memotivasi masyarakat untuk berparisipasi dalam pembangunan. Pers bukan saja menjadi mediator antara pemerintah dengan masyarakat, akan tetapi sekaligus patner pemerintah dan agen pembaharuan dalam segala kompleksitasnya yang berorientasi pada pembangunan nansional. (Kuswandi, 1996:68) Namun pada perkembangan media massa seperti saat ini, seolah masyarakat dalam mengakses informasi semakin tergelincir menjauh dari tatanan etis pada umumnya. Serbuan budaya “Westernisasi” yang menjangkit pada masyarakat kita, menjadikan masyarakat meninggalkan tatanan ajaran moral yang selama ini dianut oleh tiap-tiap individu. Media televisi mengakibatkan munculnya istilah baru yang disebut “mass culture”. Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa melalui kotak kaca ajaib yang menghasilkan suara dan gambar bergerak. Individu juga dihadapkan pada ralitas sosial yang Nampak di televisi. Tradisi-tradisi lokal (identitas budaya masyarakat) seperti sopan santun, menghormati wanita dan orang tua, menjunjung tinggi bahasa Indonesia, melestarikan tarian daerah kini mulai luntur dan terkikis budaya “western”. Dan budaya-budaya asing lebih mendominasi dalam budaya kita sebagai warga Negara Indonesia. Hal demikian pula merupakan dampak implikasi negatif perkembangan media televisi. Dimana kita mampu mendapatkan sajian acara yang informatif dan sesuai dengan kebutuhan? Media televisi rasanya sudah cukup banyak menyuguhkan berbagai tayangan yang ditampilkan pada setiap harinya. Sebagai masyarakat yang membutuhkan informasi dan hiburan, hendaknya kita menjadi masyarakat yang peka yang mampu menyeleksi mana tayangan yang bermanfaat bagi kita dan generasi kita dan mana tayangan yang justru menyesatkan bagi kita. Pemilahan terhadap informasi yang disajikan oleh media televisi merupakan langkah dan tindakan kita sebagai filter dari semakin besarnya arus budaya westenisasi yang masuk ke Indonesia Sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran dari masyarakat dalam interaksinya dengan kehidupan bermedia pasar juga harus dicermati. Idealnya pasar media harus mencerminan wacana yang sesungguhnya muncul dalam masyarakat. Sebagai komunikator, pihak media seharusnya menyampaikan pesan yang mampu memenuhi masyarakat untuk tahu, dan masyarakatlah yang akan menentukan mana informasi yang sesuai dengankebutuhannya. (Wahyuni, 2000: 209) Dalam fungsi media sebagai “Mass Education”, media adalah sebagai pendidikan nonformal, dan semua bisa mengakses kapanpun dan dimanapun. Dengan mengikut sertakan media massa sebagai konsepsional, kesenjangan antara cita-cita dengan kenyataan daalam bidang pendidikan akan dapat dijembatani dengan lebih cepat. Cita-cita pendidikan bangsa secara ideal telah dituangkan oleh para founding father republik Indonesia dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” pada alenia keempat pembukaan UUD1945, secara konstitusional dalam pasal 31 Bab XIII pendidikan yang berbunyi: 1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran, 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang dan selanjutnya secara strategis telah dituangkan dalam GBHN dan Repelita. (Effendy, 2008:99-100) Namun pada kenyataannya saat ini apakah media televisi di Indonesia sudah berperan aktif dalam membantu menjebatani tecapainya pendidikan non formal secara nasional? Bisa dipastikan bahwa media televisi sudah ikut berperan dalam pendidikan nonformal tersebut. namun pada kenyataannya susunan jam siar yang justru terkadang membuat acara tidak tepat sasaran. Misalnya tayangan Madun yang di siarkan oleh MNC TV, tayangan ini menjawab pada karakteristik komunikasi massa poin kedua. Namun ada kesalahan pada jam tayang pada tayangan tersebut. Waktu ideal yang seharusnya digunakan untuk belajar oleh anak-anak, namun dalam otak anak-anak telah di hegemoni oleh tayangan Madun. Pada pukul 18.00-23.00 beberapa stasiun televisi memberikan sajian program acara humor dan beragam tayangan sinetron. Apakah setting timing program acara yang ini benar? Hal demikian membuktikan carut marutnya jadwal yang diberikan media televisi kita. Memang tidak dapat disangkal bahwa media televisi memiliki kekuatan yang ampuh, yang dapat mempengaruhi pola kebiasaan masyarakat. Itu artinya bahwa peran serta orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menyaksikan tayangan televisi sangat dibutuhkan. Agar kontrol dapat berjalan pada semestinya, serta peran serta orangtua dalam memberikan pengertian-pengertian kepada anaknya dharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan bagi si anak. Teori Pendukung 1. Efek Komunikasi Massa Menurut Nurudin dalam buku Pengantar Komunikasi massa (2009:206) efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R. Stamm dan Jhon E. Bowes (1990) membagi kedua bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek skunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). 2. Teori Komunikasi massa Teori Kultivasi Teori Kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gebner ketika ia menjadi Dekan Annanberg School of Communication di Universitas Pennsylania Amerika Serikat (AS). Menurut teori ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat kultur dilingkungannya. Persepsi apa yang terbangun dibenak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. (Nurudin, 2009:167) Memang apabila dikomparasikan dengan keadaan sekarang, dimana masyarakat bisa mengakses informasi dari manapun (baik cetak atau elektronik) teori kultivasi ini tidak berjalan seperti pada saat teori ini muncul. Namun di Indonesia sendiri tidak semua masyarakat bisa mengakses media massa yang bermacam-macam tersebut. Di wilayah perkotaan mungkin bisa, namun jangan pernah lupa bahwa Indonesia memiliki wilayah yang jauh dari jangkauan perkotaan maupun pemerintahan. Akses media informasi yang mereka peroleh hanya satu, yakni media televisi. Tidak semua anak di Indonesia ini yang beruntung yang setiap saat bisa ditemani oleh orang-orang dewasa pada saat menyaksikan program televisi. Orang-orang tua atau orang yang lebih dewasa kebanyakan disibukkan oleh aktivitas dan rutinitas mereka sehari-hari. Sehingga kontrol terhadap arus informasi yang diperoleh anak-anak tidak seimbang. Belum lagi masalah intelektual yang dimiliki masyarakat Indonesia. Di wilayah pedesaaan saja tidak semua warga lulus tingkat sekolah dasar, jadi kemungkinan mereka tidak paham apa yang disampaikan oleh televisi. Sehingga kadangkala apa yang mereka peroleh dari menonton “ditelan” begitu saja. Misalnya terkait dengan tayangan “Masih Dunia Lain” yang ditayangkan oleh Trans7, jika kita sebagai masyarakat yang memiliki intelektual tinggi menganggap bahwa tayangan tersebut tayangan yang telah di Konstruksikan oleh media itu sendiri, sehingga ketika kita menyasikan tayangan tersebut justru merasa “geli” karena ulah talent yang menurutnya melihat penampakan hantu atau syetan. Namun lain halnya apabila yang menyaksikan tayangan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang memiliki low culture, hal tersebut akan “diamini” bahwa tempat tersebut memang angker. Sehingga apabila mereka melewati rumah kosong, tempat sepi dan gelap, mereka akan merasa ketakutan yang berlebihan. Belum lagi tayangan komedi yang sarat dengan adegan ejek-ejekan antar pemain. Budaya yang demikian jika ditonton oleh anak-anak tanpa dampingan dari orang yang lebih dewasa tentunya akan diterima begitu saja. Bisa jadi fenomena yang demikian merupakan faktor menurunnya sopan santun dikalangan anak –anak terhadap orang tua, meskipun tidak keseluruhan. Tayangan adegan kekerasan, kektika anak-anak menyaksikan tayangan Smack Down misalnya, itu merupakan contoh riil dari terpaan media terhadap anak-anak, sehingga menimbulkan efek kognitif dan perubahan perilaku. Acara musik yang disiarkan secara langsung oleh beberapa Stasiun televisi pada setiap pagi hari pada jam belajar sekolah. Dapat disaksisan juga bahwa mereka yang menoton adalah remaja usia sekolah. Tentunya itu adalah tayangan yang tidak mendidik generasi Indonesia dimasa depan. Kesimpulan Di Indonesia setelah pasca reformasi, pendirian pers begitu banyak dan berkembang pesat. Sehingga kadangkala membingungkan kita terhadap media mana yang akan kita pilih sebagai sarana memperoleh informasi. Namun kembali lagi pada individu kita yang memiliki hak untuk memilih media mana yang paling tepat untuk dirinya memperoleh informasi. Semakin banyaknya media massa yang ada di Indonesia seharusnya malah justru menguntungkan bagi kita, karena tentunya informasi tidak hanya diperoleh dari berbagai pihak. Cakupan informasi yang diperoleh lebih luas, jauh lebih mendalam. Di Indonesia, media televisi nasional telah ada puluhan sehingga kita bisa menentukan chanel mana yang akan kita tonton. Ketika menginginkan program hiburan kita bisa menonton Transtv dan Trans7, ketika ingin menonton sinetron kita bisa beralih chanel pada media televisi Indosiar, MNC TV, SCTV atau RCTI. Sedangkan apabila ingin mendapatkan informasi News bisa beralih pada stasiun Metrotv dan TVone. Dan beragam tayangan televisi lokal di Indonesia tentunya membantu referensi kita untuk mengakses informasi. Banyaknya stasiun televisi namun tidak diimbangi oleh banyaknya program acara untuk anak-anak, atau bahkan banyaknya stasiun televisi tidak diimbangi dengan tayangan yang bermutu. Hal ini seharusnya mendapat perhatian tersendiri dari kalangan pemerintah kita. KPI selaku pihak terkait kadangkala tidak mampu membendung arus informasi yang “bebas” yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesia. UU Penyiaran No.32 Th. 2002 seolah tak berdaya menjerat pelaku media yang terbukti melakukan pelanggaran. Pemerintah dan para pemilik stasiun televisi sarat dengan kepentingan. Ditinjau dari waktu siaran dan isi siaran ternyata tayangan televisi masih banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dalam UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 36 Ayat 1 tentang penyiaran disebutkan, dalam setiap isi siaran di media massa wajib mengandung informasi, pendidikan dan hiburan. Selain itu juga disebutkan isi siaran harus bermanfaat untuk pembentukan intelektualitas, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Juga dalam ayat 3 disebutkan, isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja. Masih dalam ayat ini disebutkan dalam menyiarkan mata acara stasiun televisi diwajibkan agar menyiarkan tayangan pada waktu yang tepat serta lembaga penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Namun apakah iklan Tory-tory Cheese Cracker dari Garuda food, iklan Air Asia versi butuh cuti dan tayangan komedi dan banyak program lain sudah sesuai dengan pernyataan ayat ini? Tentunya, para pelaku media harus memperhatikan efek primer dan efek skunder dari program yang disajikan. Diharapkan dengan adanya peran serta para pelaku media dalam memperhatikan kedua hal tersebut, diharapkan mampu mewujudkan tayangan yang penuh dengan nilai edukasi. Penempatan waktu yang tepat dalam jam siarnya, sehingga anak-anak yang tidak semestinya meyaksikan tidak dipaksakan untuk menonton tayangan tersebut. KPI sebagai pihak terkait dalam memantau isi siaran diharapkan juga tegas dalam menindak setiap stasiun yang melakukan pelanggaran. Tidak hanya sebatas pemanggilan pihak terkait saja, namun adanya tindakan tegas pada pelanggar. Bahkan atau mempidanakannya. DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi cetakan ke 7. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta: Jakarta Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Rivers,William L. Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar, Haris dan Priatna, Dudy. 2004. Media Massa dan Masyarkat Modern. Prenada Media: Jakarta Undang-Undang Penyiaran No.32 Th.2002. penerbit SL Media: Tangerang Selatan Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol.4 No.2: Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar Dalam Era Reformasi.Yogyakarta http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2011/07/28/media-dan-realitas/

Sabtu, 08 Oktober 2011

terjemahan Komunikasi STEPHEN W. LITLLE JHON Chapter 4

Chapter 4 PELAKU KOMUNIKASI


Pada bab ini, yang akan dibicarakan mengacu pada beberapa tradisi teori tentang individu sebagai pelaku komunikasi tersebut. Tradisi pertama adalah tradisi sosiopsikologis, akan tetapi disamping itu sibernetika, sosial budaya dan tradisi kritis juga akan mendukung secara mendalam. Salah satu tujuan psikologi adalah untuk mengidentifikasi serta mengukur kepribadian dan sifat perilaku individu. Untuk mengetahui perbedaan setiap individu ahli teori komunikasi telah melakukan percobaan untuk mengukur tingkat kecemasan atau pertentangan seseorang. Para peneliti pada tradisi akan mengelompokkan ciri komunikasi, bahkan yang lebih penting adalah pemahaman apa yang ada dibalik perilaku. Dalam hal inipertanyaan-pertanyaan tentang apa yang mendorong perilaku dan proses mental yang digunakan untuk mengambil keputusan mengenai apa yang harus dikatakan serta bagaimana harus bereaksi pada situasi komunikasi tertentu.

Tradisi Sosiopsikologis
Tradisi ini mempunyai pengaruh yang sangat besar tentang bagaimana cara berfikir tentang pelaku komunikasi sebagai individu. Tujuan tradisi ini adalah untuk memahami bagaimana dan mengapa setiap individu manusia berperilaku seperti yang mereka perbuat. Sedangkan dalam komunikasi ilmu pengetahuan dalam tradisi ini mencoba menjawwab apa yang memperkirakan bagaimana perilaku komunikasi akan berpikir dan bertindak dalam kondisi seperti ini. Dalam hal ini akan dibahas dalam dua teori sifat dan teori kognitif.
Sifat adalah sebuah kualitas atau karakteristik pembeda ini merupakan cara berfikir, merasakan dan bertingkah laku yang konsisten tehadap situasi. Mungkin yang diyakini psikolog bahwa perilaku ditentukan oleh sebuah gabungan dari faktor sifat dan situasi. Bagaimana komunikator berkomunikasi tergantung pada sifat komunikator yang diperlihatkan sebagai seorang individu dan situasinya.
Kecemasan berkomunikasi dan bersosialisasi
Banyak orang yang takut untuk berkomunikasi atau bersosialisasi serta banyak penelitian akan hal ini namun karya yang paling terkenal adalah communication apprehension (CA) oleh james McCroskey, walaupun setiap orang mengalami saat-saat ketakutan, sifat CA merupakan kecenderungan untuk mengalami kecemasan saat berkomunikasi dalam berbagai keadaan. Ketakutan yang normal bukanlah suatu masalah, selain patalogis CA yang merupakan keadaaan dimana individu menderita ketakutan ekstrim secara terus-menerus dalam komunikasi yang menjadi masalah. Ketakutan berkomunikasi adalah bagian dari kelompok konsep yang terdiri dari penghindaran sosial, kecemasan berinteraksi dan keseganan. Sebagai sebuah kelompok hal ini disebut juga sebagai kecemasan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi (social and communicative anxiety).
Model faktor sifat
Salah satu model faktor sifat yang paling terkenal adalah model faktor sifat yang dipaparkan oleh digman. Model ini mengidentifikasi lima faktor umum yang dalam kombinasi menentukan sebuah sifat individu dengan lebih spesifik. Lima faktor tesebut adalah 1)neuroticism atau kecenderungan untuk merasakan emosi negatif dan kesedihan. 2) extraversion atau kecenderungan untuk menikmati berada dalam kelompok, menjadi tegas dan berfikir optimis. 3) openness atau kecenderungan untuk menjadi reflektif memiliki imajinasi memperhatikan perasaan dari dalam hati dan menjadi pemikir mandiri. 4)agreeableness atau kecenderungan untuk menyukai dan menjadi simpatik kepada oranglain, ingin membantu orang lain serta untuk menghindari permusuhan. 5)conscientiousness kecenderungan menjadi pribadi yang disiplin melawan gerak hati nurani, menjadi teratur dan memahami penyelesaian tugas.

Sifat, watak dan biologis
Michael Beatty dan James McCroskey beranggapa bahwa sifat adalah kecenderungan yang berakar pada susunan neurobiologis yang ditentukan secara genetis oleh aktivitas otak. Dengan menggunakan model tiga besar karya psikolog H.J Eysenck yang membagi perilaku manusia kedalam tiga sifat daripada lima sifat yang diidentifikasi oleh Digman, para pakar menyatakan bahwa perilaku dalam berkomunikasi memunculkan beragam kombinasi dari tiga faktor tersebut meliputi 1) fokus keluar, 2)kecemasan, 3) kurangnya pengendalian diri.

Kognisi dan Pengolahan Informasi
Teori pengolahan informasi bekerja untuk menjelaskan bagaimana seseorang berfikir, bagaimana sesorang mengatur dan menyimpan informasi serta bagaimana kognisi membentuk perilaku seseorang. Ada beberapa teori dasar yang ada dalam tradisi sosiopsikologis yang memberikan pemahaman bagaimana pemahaman dan persuasi antara individu yakni teori tersebut adalah teori atribusi, teori penilaian sosial, dan teori penguraian kemungkinan.


Teori Atribusi
Penemu teori atribusi Fritz Heider menyeutkan beberapa atribusi kausal yang biasa dibuat manusia , semua mencakup penyebab situasional (dipengarugi oleh lingkungan), pengaruh pribadi (mempengaruhi secara pribadi), kemampuan (dapat melakukan sesuatu), usaha (mencoba melakukan sesuatu), hasrta (keinginan untuk melakukannya, perasaan (mencoba menyukainya), keterlibatan (setuju dengan sesuatu), kewajiban (merasa harus dan perizinan (telah diizinkan).

Teori Penilaian Sosial
Teori atribusi menunjukkan kepada kita pentingnya penilaian personal. Sedangkan teori penilaian sosial berfokus dengan bagaimana seseorang membuat penilaian mengenai sesuatu yang kita dengar. Berdasarkan karya Muzafer Sherif dan ilmuwan lainnya teori penilaian sosial mencoba untuk memperkirakan bagaimana seseorang menilai pesan dari seseorang dan bagaimana penilaian ini akan berpengaruh pada sistem keyakinan seseorang tersebut.

Teori Kemungkinan Elaborasi
Sebagaimana yang Anda pelajari tentang teori penilaian sosial pada bagian sebelumnya, mungkin Anda telah menyadari bahwa Anda tidak selalu membuat penilaian secara sadar tentang apa yang Anda dengar. Anda menaruh kecurigaan terhadap sesuatu, sambil mengalihkan pada topik lain dengan sangat serius. Sewaktu-waktu, Anda terbawa oleh sesuatu dengan tidak disadari, Anda benar-benar menentang tingkat kesadaran Anda. Sementara itu, Anda kadang-kadang mempertimbangkan sesuatu untuk sementara dan membuat penilaian dalam keadaan agak sadar untuk mengubah opini Anda.
Kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood) adalah suatu kemungkinan bahwa Anda akan mengevaluasi informasi secara detail. Kecenderungan elaborasi ini adalah sebuah variabel yang berarti bahwa teori ini dapat menyusunnya dari yang kecil kepada yang lebih besar. Penguraian kemungkinan ini bergantung pada cara Anda mengolah pesan. Ada dua rute untuk pengolahan informasi rute sentral dan periferal.
Motivasi sedikitnya terdiri atas tiga hal. Pertama, keterlibatan atau relevansi personal dengan topik. Semakin penting topik tersebut bagi Anda secara pribadi, mungkin Anda semakin berpikir secara kritis tentang isu yang terlibat. faktor kedua dalam motivasi adalah perbedaan pendapat. Anda cenderung akan lebih memikirkan pendapat yang berasal dari beragam sumber. Hal ini terjadi karena ketika Anda mendengar beberapa orang membicarakan tentang sebuah isu, Anda tidak dapat membuat penilaian dengan sangat mudah. Hal-hal lain menjadi setara, di mana beragam sumber dan pendapat terlibat, penerima cenderung mengolah informasi secara sentral.
Faktor ketiga dalam motivasi adalah kecenderungan pribadi Anda terhadap cara berpikir kritis. Pelajaran dari teori ini adalah kita mungkin kelihatannya harus selalu kritis dalam mengevaluasi pesan, tetapi pada praktiknya, sangatlah tidak mungkin untuk fokus pada setiap pesan). Namun, hal yang juga penting dalam memahami pelaku komunikasi adalah hubungan sosiopsikologi dan tradisi sibernetika dalam teori komunikasi tradisi yang akan kita telusuri pada bagian berikutnya.

Tradisi Sibernetika
Tradisi ini menekankan hubungan timbal balik diantara semua bagian dari sebuah sistem. Ada dua genre tradisi sibernetika. Pertama, satu kelompok teori yang umumnya berasal dari rubrik penggabungan informasi (information integration) kedua, satu kelompok teori yang pada umumnya dikenal sebagai teori konsistensi (consistency theories).

1. Teori Penggabungan informasi
Pendekatan gabungan informasi berpusat dengan bagaimana seseorang mengakumulasi dan mengatur informasi tentang semua orang, objek, situasi, dan gagasan yang membentuk sikap atau kecenderungan untuk bertindak dengan cara cara yang positif atau negatif. Informasi adalah salah satu dari kekuatan tersebut dan berpotensi untuk mempengaruhi sebuah sistem kepercayaan atau sikap individu. Sebuah sikap dianggap sebagai sebuah akumulasi dari informasi tentang objek, seseorang, situasi, atau pengalaman. Dua variabel nampaknya penting dalam mempengaruhi perubahan sikap. Pertama adalah valance atau arahan, mengacu pada apakah informasi mendukung keyakinan seseorang atau menyangkal mereka. Variabel kedua adalah bobot seseorang dalam memberikan informasi. Bobot adalah sebuah kegunaan dari kredibilitas. Jika seseorang berfikir bahwa informasi itu benar maka seseorang tsb akan memberikan bobot terhadap informasi tersebut yang lebih tinggi.

2. Teori Konsistensi
Semua teori konsistensi dimulai dengan dasar pikiran yang sama, yaitu orang lebih nyaman dengan konsistensi daripada inkonsistensi. Sementara itu, konsistensi adalah prinsip aturan utama dalam proses kognitif dan perubahan sikap yang dapat dihasilkan dari informasi yang mengacaukan keseimbangan ini. Walaupun kosakata dan konsep dari teori ini berbeda, asumsi dasar dari konsistensi adalah menghadirkan mereka semua. Dalam bahasa sibernetika, manusia mencari homeostasis atau keseimbangan dan sistem kognitif adalah sebuah in alat utama yang dapat digunakan untuk mencapai keseimbangan.
Teori Disonansi Kognitif. Teori disonansi kognitif karya Leon Festinger adalah salah satu teori yang paling penting dalam sejarah psikologi sosial. Selama bertahun-tahun, teori disonansi kognitif menghasilkan sebuah kuantitas penelitian yang sangat banyak serta buku kritisisme, interpretasi, dan ekstrapolasi.23 Selain itu, merupakan salah satu dari berbagai teori yang terkemuka dalam tradisi sosiopsikologi, sehingga hal ini ditanamkan dengan sistem pemikiran yang harus disertakan dalam tradisi sibernetika sebagaimana mestinya.
Teori Penggabungan Masalah. Teori sibernetika dari pelaku komunikasi menonjolkan pengabungan kognitif sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Pikiran digolongkan oleh susunan sikap, keyakinan, dan nilai-nilai yang bergerak ke arah meningkatkan kesesuaian. Austin Babrow menambahkan kalimat ini dengan menjelaskan peran komunikasi dalam membantu individu mengatur disonansi kognitif atau apa yang ia sebut sebagai penggabungan masalah (CPM problematic integration—PI]. Teori Babrow didasarkan pada tiga dalil: Pertama, Ada memiliki kecenderungan alami untuk menyejajarkan harapan-harapan Anda (apa yang Anda pikir akan terjadi) dan penilaian-penilaian Anda (apa yang Anda inginkan untuk terjadi). Kedua, menggabungkan harapan dan penilaian dapat menjadi suatu masalah tidak selalu miu untuk menyejajarkan harapan dan penilaian. Ketiga, penggabungan masalah berakar dari komunikasi dan diatur melalui komunikasi.

TRADISI SOSIOKULTURAL
Teori sosial dan kultural menunjukkan bagaimana pelaku komunikasi memahami diri mereka sebagai makhluk-makhluk kesatuan dengan perbedaan-perbedaan individu dan bagaimana perbedaan tersebut tersusun secara sosial dan bukan ditentukan oleh mekanisme psikologis atau bioiogis yang tetap.
Pada bagian ini, kita melihat pada lima konsep yang berhubungan dengan diri sendiri interaksionisme simbolis, pembentukan sosial mengenai diri sendiri, pembentukan sosial mengenai emosi, pembawaan diri dan teori komunikasi mengenai identitas.)
Interaksi Simbolis dan Pengembangan Diri
Interaksionisme simbolis (IS) merupakan sebuah -pikir mengenai pikiran, diri sendiri, dan masyarakat yang telah memberi kontribusi yang besar terhadap tradisi sosiokultural dalam teori komunikasi.
Pelaku komunikasi tidak hanya berinteraksi dengan orang lain dan dengan objek-objek sosial; mereka juga berkomunikasi dengan diri mereka sendiri.
Gagasan Harre Mengenai Seseorang dan Diri Sendiri
Rom Harre adalah salah seorang ilmuwan sosial yang telah menjadikan anggapan-anggapan ini penting bagi karya-karya mereka, inti teori ini adalah gagasan bahwa diri sendiri tersusun oleh sebuah teori pribadi yang mempengaruhi bagaimana kita mendekati dunia.
Individu juga memiliki dua sisi, terdiri atas makhluk sosial (orang) dan makhluk individu (diri sendiri) yang belajar melalui sebuah sejarah interaksi dengan orang lain.
Herre menguraikan konsep “diri sendiri” dengan menggunakan tiga elemen yang membentuknya kesadaran, perantara, dan riwayat hidup. Dimensi kedua dari diri sendiri adalah realisasi sumber tingkatan di mana beberapa karakteristik diri diyakini berasal dari dalam individu atau dari kelompok di mana diri sendiri menjadi sebuah bagian.
Dimensi yang ketiga perantara merupakan tingkatan kekuatan aktif yang melekat pada diri sendiri.
Pembentukan Sosial Mengenai Emosi
Salah satu karya ilmiah terkemuka mengenai pembentukan sosial mengenai emosi adalah James Averill. Menurut Averill, emosi merupakan sistem kepercayaan yang memandu pemahaman seseorang mengenai situasi. Biasanya, emosi terdiri dari norma-norma sosial yang dipelajari dan aturan yang mengatur perasaan. Norma dan aturan ini memberitahu kita bagaimana menjelaskan serta menanggapi emosi. Emosi memiliki sebuah komponen psikologis, tetapi mengenali dan menamai perasaan-perasaan jasmani dipelajari secara sosial dalam sebuah kebudayaan. Dengan katalain, kemampuan untuk memahami emosi terbentuk secara sosial.
Secara umum, menurut Averill, ada empat aturan yang mengatur emosi. Aturan penilaian memberitahu Anda apa itu emosi, di mana emosi tersebut diarahkan, dan apakah emosi tersebut positif atau Aturan perilaku memberitahu Anda bagaimana merespons perasaan apakah untuk menyembunyikannya, untuk menunjukkannya secara pribadi, atau untuk benar-benar nya. Aturan ramalan menjelaskan kemajuan dan rangkaian emosi: berapa lama emosi tersebut harus bertahan, apa saja tahapan-bagaimana emosi tersebut dimulai, dan bagaimana emosi tersebut diakhiri? Aturan pelekatan memerintahkan bagaimana sebuah menjelaskan atau dibenarkan: apakah Anda memberitahu orang lain tentang hal ini dan bagaimana Anda menunjukkannya secara umum.
Pembawaan Diri
Goffman memulai dengan anggapan bahwa seseorang harus memahami kejadian yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Interpretasi sebuah situasi merupakan definisi dari situasi tersebut. Oleh karena itu, performa bukanlah sesuatu yang sepele, tetapi secara harfiah menjelaskan siapa Anda sebagai seorang pelaku komunikasi. Pelaku komunikasi merupakan perwakilan diri, dan setiap orang bisa memiliki banyak bentuk diri, bergantung pada cara-cara ketika diri dihadirkan dalam banyak situasi yang dihadapi dalam kehidupan.
Teori Komunikasi tentang Identitas
Menurut teori tersebut, identitas merupakan penghubung utama tira individu dan masyarakat serta komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan hubungan ini terjadi.
Hecht memperkenalkan dimensi-dimensi identitas khusus, termasuk perasaan (dimensi pemikiran (dimensi kognitif), tindakan (dimensi perilaku), dan transenden (Spiritual). Karena cakupannya yang luar biasa, identitas adalah sumber bagi motivasi dan ekspektasi dalam kehidupan serta memiliki kekuatan yang tetap yaitu abadi. Hal ini tidak berarti bahwa identitas sesudah dibuat, tidak pernah berubah. Malahan, ketika ada substansi dari identitas yang stabil, identitas tidak pernah diperbaiki, tetapi selalu berkembang.


Teori Negoisasi Identitas
Identitas atau gambaran refleksi diri, dibentuk melalui negosiasi ketika kita menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi-identifikasi diri kita atau orang lain. Hal ini bermula dalam kehidupan keluarga, ketika kita mulai memperoleh berbagai identitas pribadi dan sosial.
Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (salience).
Kemampuan lintas budaya terdiri atas dari tiga komponen pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill). Definisi pengetahuan adalah pemahaman akan pentingnya identitas etnik/ kebudayaan dan kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Artinya, mengetahui sesuatu tentang identitas kebudayaan dan mampu melihat segala perbedaan, misalnya, antara ahli identitas kolektif dan ahli identitas individu.
Tradisi Kritik
Secara umum, pergerakan-pergerakan tersebut berbagi kesamaan dalam beberapa asumsi tentang kategori identitas: (1) para anggota kategori identitas berbagi kesamaan analisis tentang tekanan mereka yang sama; (2) tekanan yang sama menggantikan semua kategori-kategori identitas lainnya; dan (3) para anggota kelompok identitas selalu menjadi sekutu satu sama lain.
Inti dari asumsi tersebut adalah konsepsi identitas sebagai kategori yang stabil, lengkap sebagian besar bukti diri yang didasarkan pada penanda, seperti jenis kelamin, ras, dan kelas dimensi yang terdapat di dalam individu. Para ahli mulai mengetahui bahwa tidak ada karakteristik mendasar yang mendefinisikan para wanita, pria orang Asia atau orang lain.
Teori Sudut Pandang
Teori sudut pandang (standpoint theory) adalah teori kritis pertama yang akan kami bahas. Karya Sandra Harding dan Patricia Hill Collins berperan dalam mengkristalkan teori sudut pandang dalam ilmu pengetahuan sosial; Julia Wood dan Marsha Houston menjadi penolong teori ini dengan memasukkannya ke dalam kajian komunikasi. Teori sudut pandang mengkaji bagaimana keadaan kehidupan individu memengaruhi aktivitas individu dalam memahami dan membentuk dunia sosial.
Identitas yang Dibentuk dan Ditampilkan
Dalam tradisi yang secara sosial dibentuk dan yang ditampilkan berikut, yang telah diuraikan dalam bagian terdahulu, teori kritik identitas (theory critical identity) menyarankan bahwa identitas ada di dalam konstruksi sosial kategori itu oleh budaya yang lebih luas. Dengan mengabaikan dimensi identitas gender, kelas, ras, seksualitas identitas juga ditampilkan sesuai atau berlawanan dengan norma dan ekspektasi.
Gender Trouble milik Judith rather adalah artikulasi identitas yang kuat karena keduanya dibentuk dan ditampilkan serta teori-teorinya memiliki pengaruh dalam memikirkan identitas dalam kajian komunikasi.
Teori Queer
Istilah ini mengacu pada sesuatu yang ganjil atau tidak biasa, seperti pada kata querky, ditujukan untuk karakteristik yang negatif, seperti kegilaan, yang ada di luar norma-norma sosial, seperti dalam kalimat “that a bit queer or unsusual” dan keduanya digunakan balik secara menyanjung atau memaki yang ditujukan kepada pelaku homoseksual. Hal yang paling terbaru, queer dicermati dan menjadi subkajian akademik dengan nama teori queer.
Asal muasal frase teori queer dirujuk pada Teresa de Lauretis yang pada tahun 1990 memilihnya sebagai judul untuk sebuah konferensi yang ia koordinasi yang bertujuan mengacaukan kepuasan diri akan kajian lesbian dan homo.
Kita melihat dalam bagian ini bahwa tradisi sosiokultural dan kritikal beriringan dalam mendefinisikan diri sendiri sebagai sebuah hasil interaksi sosial. Apa yang mengarakterisasi pendekatan kritis terhadap identitas yang diringkaskan dalam bagian ini merupakan pentingnya hubungan kekuatan di masyarakat dalam menentukan saat Anda menempatkan diri Anda berhadapan dengan arus atau masyarakat yang terpinggirkan. Tekanan ini membentuk sebuah lingkaran kritis yang dibawa tradisi ini pada pembahasan mengenai pelaku komunikasi dan komunikasi.

terjemahan Komunikasi STEPHEN W. LITLLE JHON Capter 3

BAB 3
TRADISI-TRADISI TEORI KOMUNIKASI

Jenis musik apa yang anda sukai? Mungkin anda akan menyukai beberapa jenis musik yang berbeda, akan tetapi anda akan menjawab pertanyaan itu tanpa memiliki beberapa pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan diantara sejumlah jenis yang berbeda. Tetapi musik dibentuk dalam beberapa aliran, mulai dari musik klasik sampai hip hop. Kita akan dibingungkan oleh musik jika tidak memiliki beberapa pengertian akan persamaan dan perbedaan musik.
Hal tersebut serupa dengan dunia teori. Ketika kita mencoba mengeksplorasi teori-teori, kita perlu juga berpikir tentang grup dan aliran, perlu dibentuk skema pengorganisasian. Bagaimana kerangka kerja untuk digunakan sebagai petunjuk dan alat dalam memperhatikan beberapa asumsi, perspektif dan poin-poin utama teori komunikasi hal ini dimaksudkan untuk melihat persamaan dan perbedaanya.

Menyusun Teori Komunikasi
Pikirkan tentang dunia komunikasi yang anda selami. Bagaimana anda mengelompokkannya? Aspek-aspek apa yang menarik minat anda? Akankah anda melihat dahulu simbol yang membentuknya? Akankah anda berkonsentrasi dan berpersepsi terhadap pikiran anda? Mungkin anda akan melihat diluar objek, kata, simbol dan tindakan itu serta apa yang mereka berikan untuk kehidupan anda?
Anda tidak akan menemukan setiap pertanyaan tersebut layak atau berguna. Beberapa pertimbangan ini akan lebih terbuka lebar bagi anda, sementara yang lainnya akan menarik anda tepat didalamnya. Sementaraa itu keragaman tipologi komunikasi itu telah dikembangkan. Kita tentunya menyukai model Robert Craig karena merefleksikan komunikasi dalam cara yang holistik. Craig membagi dunia komunikasi kedalam tujuh tradisi pemikiran: 1. Tradisi semiotik 2. Fenomenologis 3. Sibernetika 4. Sosiopsikologis 5. Sosiokulturan 6. Kritis 7. Retoris. Berdasarkan kesamaan asumsi tradisi-tradisi tersebut ingin dijadikan sebuah kesamaan dan kesepakatan bersama.
Menurut Robert Craig bahwa tidak ada satupun teori komunikasi yang benar, tetapi banyak manfaat untuk memikirkan permasalahan-permasalahan tertentu. Semakin banyak teori yang diketahui, semakin banyak pilihan pemecahan masalah berbeda yang anda alami. Namun, keragaman ini juga menyebabkan kebingungan. Pada model tradisi Craig, dia menyederhanakan gambaran besar dengan memperlihatkan bahwa kebanyakan teori komunikasi datang dari sejumlah kecil tradisi-tradisi yang merepresentasikan perbedaan mendasar dan pendekatan-pendekatn praktis.

1. Tradisi Semiotik
Tradisi semiotik / penyelidikan simbol-simbol membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi ini terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaa. Situasi, perasaan dan kondisi diluar tanda-tanda itu sendiri. Penyelidikan tanda-tanda tak hanya memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan memiliki pengaruh yang kuat hampir semua perspektif yang sekarang diterapkan pada teori komunikasi.
Gagasan Utama Dalam Tradisi Semiotik
Konsep dasar yang menyatukan teori ini adalah tanda yang didefinisikan sebagai stimulus yang menandakan atau menunjukkan beberapa kondisi lain. Konsep dasar yang kedua adalah simbol yang biasanya menandakan tanda yang kompleks dengan banyak arti yang sangat khusus. Dengan perhatian pada tanda dan simbol, semiotik menyatukan kumpulan teori-teori yang sangat luas berkaitan dengan bahasa, wacana, dan tindakan-tindakan nonverbal.
Kebanyakan pemikiran semiotik melibatkan ide dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti itu muncul dari hubungan diantara tiga hal, benda (atau yang dituju), manusia (penafsir) dan tanda. Charles Saunders Pierce, ahli semiotik meodrn pertama dapat dikatakan pula sebagai pelopor ide ini. Pierce mendefinisikan semiosis sebagai hubungan diantara tanda, benda, dan arti. Tanda tersebut merepresentasikan benda atau yang ditunjuk dalam fikiran si penafsir.
Variasi Dalam Tradisi Semiotik
Semiotik selalu dibagi kedalam tiga kajian wilayah, semantik, sintaktik, dan pragmatik. Semantik berbicara bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Semiotik menggambarkan dua dunia-dunia benda dan dunia tanda-dan mencerahkan hubungan antara kedua dunia tersebut.
Sintaktik atau kajian hubungan diantara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya tidak pernah bberdiri dengan sendirinya, hampir semua selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar dan diatur dalam cara-cara tertentu. Oleh kkarena itu sintaktik mengacu pada aturan-aturan yang dengan orang mengkombinasikannya tanda-tanda kedalam sistem makna yang kompleks. Pragmatik kajiannya memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda dalam kehidupan sosial.

2. Tradisi Fenomenologis
Dalam tradisi fenomenologis berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Istilan phenomenon mengacu pada kemunculan sebuah benda, kejadian atau kondisi yang ia lihat. Oleh karena itu fenomenologi merupakan cara yang digunakan manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung. Maurice Merleau-Ponty, pakar dalam tradisi ini menuliskan bahwa “semua penngetahuan akan dunia, bahkan pengetahuan ilmiah diperoleh dari beberapa pengalaman akan dunia. Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologi. Pertama pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar, kita akan mengetahui dunia apabila kita berhubungan dengannya. Kedua makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain bagaimana anda berhubungan dengan benda menentukan makna bagi anda. Asumsi ketiga bahwa bahasa merupakan kendaraan mmakna. Kita megalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.

3. Tradisi Sibernetika
Sibernetika merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang didalamnya banyak orang saling berinteraksi, mempengaruhi satu sama lainnya. Dalam tradisi ini menjelaskan bagaimana proses fisik, biologis, sosial, dan perilaku bekerja. Dalam sibernetika komunikasi dipahami sebagai sistem bagian-bagian atau variabel yang mempengaruhi satu sama lainnya, membentuk serta mengontrol karakter keseluruhan sistem, dan layaknya organisme menerima keseimbangan dan perubahan.
Istilah sibernetika dapat membingungkan karena istilah tersebut dapat diaplikasikan baik pada tradisi umum(seperti yang telah dilakukan oleh Craig) maupun pada sibernetika yang lebih spesifik, yang merupakan satu diantara variasinya. Sibernetika dalam kesan yang sempit dipopulerkan oleh Norbert Wiener pada tahun 1950-an. Sebagai kajian sibernetika merupakan cabang dari teori sistem yang memfokuskan diri pada putaran timbal balik dan proses-proses kontrol. Dengan menekankan pada kekuatan-kekuatan yang tidak terbatas, sibernetika menantang pendekatan linier yang menyatakan bahwa satu hal dapat menyebabkan hal lainnya. Sebagai gantinya konsep ini mengarahkan pada kita atas pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana sesuatu saling mempengaruhi satu sama lainnya dalam cara yang tak berujung.

4. Tradisi Sosiopsikologis
Kajian individu sebagai makhluk sosial merupakan tujuan dari tradisi sosiopsikologis. Berasal dari kajian psikologi sosial, tradisi ini memiliki tradisi yang kuat dalam komunikasi. Teori-teori ini berfokus pada perilaku sosial individu, kepribadian dan sifat, persepsi serta kognisi. Meskipun teori-teori ini memiliki banyak perbedaan, mereka sama-sama memperhatikan perilaku dan sifat-sifat pribadi serta proses kognitif yang menghasilkan perilaku.
Pendekatan individualis yang memberi ciri tradisi sosiopsikologis merupakan hal yang umum dalam pembahasan komunikasi serta lebih luas dalam ilmu pengetahuan sosial dalam perilaku. Hal ini dapat dipahami dalam lingkungan budaya kita.
Saat ini, kebanyakan teori komunikasi sosiopsikologis lebih berorientasi pada sisi kognitif, yaitu memberikan pemahaman bagaimana manusia memproses informasi. Dalam hal ini, tradisi sibernetika dan sosiopsikologis bersama-sama menjelaskan sistem pemprosesan informasi individu manusia. Informasi merupakan bagian dari perhatian khusus, sedangkan rencana dan perilaku merupakan bagian dari sistem kognitif.
Banyak karya dari tradisi ini berasumsi bahwa mekanisme-mekanisme pemrosesan informasi manusia berada diluar kesadaran kita. Sebagai pelaku komunikasi, kita disadarkan akan aspek-aspek spesifik dari proses, seperti perhatian dan ingatan serta kita akaan sangat sadar dengan kemampuan tertentu, seperti rencana dan perilaku.

5. Tradisi sosiokultural
Pendekatan sosiokultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara pemahaman kita terhadap norma, peran, dan peraturan yang dijalankan secara intensif dalam komunikasi. Teori-teori tersebut mengeksplorasi dunia interaksi yang dihuni oleh manusia, menjelaskan bahwa realitas bukanlah seperangkat susunan diluar kita , tetapi dibentuk melalui proses interaksi di dalam kelompok, komunitas dan budaya. Tradisi ini memfokuskan diri dari bentuk-bentuk interaksi antar manusia daripada karakteristik individu atau model mental. Interaksi merupakan proses dan tempat makna, peran, peraturran, serta nilai budaya yang dijalankan. Meskipun individu memproses informasi secara kognitif.
Ada skeptisme baik dalam perkembangan tentang penemuan metode-metode penelitian. Malahan para eneliti sosiokultural cenderung menganut ide bahwa realitas itu dibentuk oleh bahasa, sehingga apapun yang “ditemukan” harus dipengaruhi oleh bentuk-bentuk interaksi prosedur penelitian itu sendiri. Oleh karena itu dalam pendekatan sosiokultural pengetahuan dapat di intepretasikan dan di bentuk. Teori-teori tersebut cenderung berhubungan bagaimana makna diciptakan dalam interaksi sosial dalam institusi nyata. Makna dalam kata-kata dalam situasi tersebut dianggap sangat penting. Seperti layaknya bentuk-bentuk perilaku dalam interaksi dalam situasi nyata. Teori sosiokultural juga memfokuskan bagaimana identitas-identitas dibangun melalui interaksi dalam kelompok sosial dan budaya. Identitas sebagai dorongan bagi kita sebagai individu dalam peranan sosial, sebagai anggota komunitas, dan sebagai makhluk berbudaya.

Keragaman dalam Tradisi Sosiokultural
Sosikultural memiliki beragam sudut pandang yang berpengaruh : paham interaksi simbolis (symbolic interactionism), sosiolinguistik, filisofi bahasa, etnografi dan etnometodelogi. Berdasarkan ide bahwa struktur sosial dan makna diciptakan serta dipelihara dalam interaksi sosial, paham interaksi simbolis sangat berpengaruh dalam tradisi. Paham interaksi simbolis berasal dari kajian sosiologi melalui penelitian Herbert Blumer dan George Herbert mead yang menekankan pentingnya observasi dalam kajian komunikasi sebagai cara dalam mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial. Ide pokok dari paham interaksionalis simbolik telah dikalaborasikan oleh banyak pakar sosial serta saat ini dimasukkan ke dalam kajian kelompok, emosi, diri, politik, dan struktur sosial.
Sudut pandang kedua yang berpengaruh dalam pendekatan sosiokultural dalah paham konstruktivisme sosial (social constructionism), sudut pandang penyelidikan tentang bagaimana pengetahuan manusia dibentuk melalui interaksi. Identitas benda dihasil dari bagaimana kita berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan untuk menangkap konsep kita. Dan cara-cara kelompok sosial menyesuaikan diri pada pengalaman umum mereka. Pengaruh ketiga dalam tradisi sosiokultural teori komunikasi adalah sosiolinguistik atau kajian bahasa dan budaya. Hal yang terpenting dalam tradisi ini adalah bahwa manusia menggunakan bahasa secara berbeda dalam kelompok budaya dan kelompok sosial yang berbeda pula. Bukan hanya media netral untuk menghubungkan manusia, bahasa juga masuk dalam bentuk yang menentukan jati diri kita sebagai makhluk sosial dan berbudaya.

6. Tradisi Kritik
Pertanyaan-pertanyaan tentang keistimewaan dan kekuatan dianggap penting dalam teori komunikasi dan merupakan tema dari tradisi kritik. Tradisi kritik berlawanan dengan banyak asumsi dasar dari tradisi lainnya. Sangat dipengaruhi oleh karya-karya eropa, feminisme amerika, dan kajian post-modernisme dan post-kolonialisme. Tradisi ini berkembang pesat dan berpengaruh pada teori komunikasi.
Meskipun terdapat banyak keberagaman tradisi kritik, semuanya sama-sama memiliki tiga keistimewaan pokok. Pertama tradisi kritik mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan, dan keyakinan atau ideologi yang mendominasi masyarakat, dengan pandangan tertentu dimana minat-minat disajikan oleh struktur kekuatan tersebut. Kedua para ahli teori kritik pada umumnya tertarik dengan membuka kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih berkecukupan. Teori kritik yang ketiga menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan atau mencapai perubahan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat atau yang seperti dinyatakan Della Pollock dan J. Robert Cox “untuk membaca dunia dengan pandangan yang dapat membentuknya”.
Dalam kajian komunikasi para ahli kritik umumnya tertarik dengan bagaimana pesan memperkuat penekanan dalam masyarakat. Mereka juga fokus dengan wacana dan teks-teks yang mempromosikan ideologi-ideologi tertentu, membentuk dan mempertahankan kekuatan, meruntuhkan minat-minat kelompok atau kelas tertentu. Teori-teori kritik sangat luas, sehingga teori tersebut sangat sangat sulit ditempatkan dan dikelompokkan dalam keseluruhan teori komunikasi. Kita akan membahas cabang-cabang pokok : marxisme, The Frankfurt school of critical theory, post modernisme, post kolonialisme dan kajian feminis.
Meskipun tradisi kritik telah muncul sejak karya Marx dan Friedrich Engles, marxisme merupakan cabang induk dari teori kritik, Marx mengajarkan bahwa cara-cara produksi dalam masyarakat menentukan sifat dalam masyarakat. Saat ini teori kritik marxis sangat berkembang, meskipun teori ini sudah bercabang dan multiteoritis, beberapa ahli masih dengan senang hati mengadopsi ide-ide marx pada ekonomi politik meskipun perhatian dasar akan konflik dialektik, dominasi, dan penindasan tetap penting.
Frankfrut adalah cabang kedua dari teori kritik dan faktanya sangat bertanggung jawab terhadap kemunculan istilah crittical theory. Frankfrut masih sering digambarkan sebagai persamaan dengan istilah teori kritik. Frankfrut mengacu pada kelompok filsuf jerman, sosiolog, dan ekonom Max Horkheimer. Teori kritik berada dalam paradigma modernis, entah itu intelektual atau pandangan populer, pada sebuah kepercayaan pada alasan yang dibangun melalui ilmu pengetahuan, bahwa individu sebagai agen perubahan dan penemuan aspek-aspek budaya yang Cuma-Cuma.
Pos modernisme dalam pengertian paling umum diberi tanda oleh perpecahan dengan modernitas dan proyek pencerahan. Bermula pada tahun 1970an post modernisme menolak “elitisme, puritanisme, dan sterilitas” rasional karena pluralisme, relativitas, kebaruan, kompleksitas, dan kontradiksi. Kontribusi Jean-Francois Lyotard terhadap post modernisme merupakan enolakan terhadap cerita hebat tentang kemajuan , tidak ada lagi kisah-kisah yang diceritakan masuk akal dalam suatu budaya. Berikutnya teori Post kolonialisme mengacu pada kajian “semua kebudayaan dipengaruhi oleh proses kekaisaran di era kolonialisasi sampai hari ini. Inti teori ini adalah gagasan yang dikemukakan oleh Edward Said bahwa proses penjajahan menciptakan “kebedaan”yang bertanggung jawab bagi gambaran yang di stereotipkan pada populasi bukan kulit putih. Teori said merupakan proyek kritik dan post modern yang bukan hanya menggambarkan proses kolonialisasi dan keeradaannya untuk mengintervensi “emancipatory political stanceĆ­”. Post kolonial juga merupakan sebuah proyek post modern dalam mempertanyakan bahwa hubungan historis, nasional, dan geografis serta penghapusan dibuat eksplisit dalam wacana.
Akhirnya, kajian feminis telah bertahun-tahun dalam tradisi kritik. Feminisme diidentifikasikan secaraa beragam, mulai dari pergerakan untuk menyelamatkan hak-hak wanita sampai semua bentuk usaha penekanan. Para ahli feminisme memulai dengan fokus pada gender dan mencari perbedaan antara seks- sebuah kategori biologis dan gender sebuah konstruksi sosial.

7. Tradisi Retorika
Apakah anda suka mempelajari wacana serta memikirkan akibatnya? Jika demikian mungkin anda terseret dalam tradisi retorika pada teori komunikasi. Kata retorika sering mengalami penyempitan mmakna-kosong atau kata-kata ornamen yang berlawanan dengan tindakan. Bagaimanapun dalam keadaan yang sesungguhnya kajian retorika memiliki sejarah yang berbeda di belahan barat. Kajian retorika secara umum didefinisikan sebagai simbol yang digunakan manusia, pada awalnya ilmu ini dihubungkan pada persuasi sehingga retorika adalah seni penyususnan argumen dan pembuatan naskah pidato. Kemudian dikembangkan sampai meliputi proses ”adjusting idea to people and people to ideas” dalam segala jenis pesan. Fokus dari retorika diperluas bahkan lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk mempengaruhi lingkungan disekitarnya dan untuk membangun dunia tempat mereka tinggal.
Pusat dari tradisi retorika adalah kelima karya agung retorika, penemuan, penyusunan, gaya, penyampaian, dan daya ingat. Semua ini adalah elemen-elemen dalam mempersiapkan sebuah pidato. Sedangkan pidato orang Yunani dan Roma kuno berhubungan dengan ide-ide penemuan, pengaturan ide, memilih bagaimaa membingkai ide tesebut kedalam sebuah bahasa. Retorika mempunyai makna yang berbeda dalam periode yang berbeda sehingga menyebabkan kekacauan dalam pemaknaan kata.
Hal yang paling penting periode kontemporer nampaknya juga telah kembali dalam pemaknaan mengenai retorika sebagai epistemika-sebagai sebuah cara untuk mengetahui dunia, bukan hanya sebuah cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia. Sebagian besar ahli retorika saat ini menganut paham pada beberapa tingkatan dengan gagasan bahwa manusia menciptakan dunia mereka melalui simbol-simbol bahwa dunia yang kita kenal merupakan salah satu yang ditawarkan kepada kita oleh bahsa kita.
Kecenderungan lain muncul pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 telah terjadi jembatan antar retorika dengan post modernisme terutama pada apresiasi post modern da penilaian pendirian yang berbeda. Selanjutnya retorika jauh berbeda dengan tanpa arti, kosong, atau pembicaraan ornamental, hal ini merupakan seni dasar dan praktik komunikasi manusia. Ketika retorika berhubung yang dikembangkanan dengan praktik pidato menurut standart tunggal yang dikembangkan oleh yunani, saat ini kita mengetahui keberadaan banyak ahli pidato yang masing-masing menawarkan sudut pandang yang berbeda.

Mengembangkan Konteks Untuk komunikasi
Dalam tujuh tradisi yang telah dibahas sebelumnya mencakup banyak aspek komunikasi. Untuk menyusun teori, ada beberapa poin pusat. Bayangkanlah ketika melihat proses komunikasi melalui sebuah lensa pembesar. Kita dapat mempersempit area fokus pada individu dan selanjutnya memperlebarnya perlahan-perlahan untuk kelihat pada pandangan yang cukup lebar. Pada setiap titik, kita dapat memutar sedikit lensanya untuk melihat fitur-fitur lain dari pemandangan tersebut dalam fokus. Disadari bahwa setiap aspek komunikasi merupakan bagian dari konteks yang lebih besar. Setiap tingkatan komunikasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks-konteks yang lebih besar.
Konteks-konteks komunikasi dari pelaku komunikasi hingga masyarakat dari pelaku komunikasi saling mempengaruhi satu sama lain, sebagai contoh hubungan kita didefinisikan dan diatur melalui pertukaran pesan dalam percakapan. Para pelaku komunikasi mengambil keputusan mengenai pesan, tetapi pesan diatur dalam perccakapan. Tabel 3.1 memberikan ide tentang apa yang harus diharapkan dalam kedepannya. Poin-poin berikut akan menyediakan petunjuk ketika akan melanjutkan pembahasan teori berikutnya.
1. Perhatikan bahwa tidak ada tradisi yang memberikan kontribusi pada setiap aspek komunikasi. Sebagai contoh tradisi sosiopsikologis yang sangat berpengaruh dalam menentukan banyak aspek komunikasi, tetapi tradisi ini sedikit membicarakan tentang masyarakat dan budaya. Tradisi fenomenologis agak terbatas kontribusinya pada teori komunikasi, paling tidak secara langsung bahkan idenya tentang interpretasi telah lama menjadi faktor utama dalam membantu kita mengintepretasi budaya dan mengalami berbagai macam.
2. Tradisi-tradisi tidaklah terpisah satu sama lainnya. Tentu saja tradisi-tradisi tersebut telah mempengaruhi satu sama lainnya dan saling menutupi dengan cara yang signifikan.
3. Setiap tradisi memiliki karakter khuss dan dalam beberapa kasus, tradisi tersebut bahkan saling menolak satu sama lainnya. Sosiopsikologis dan sosiokultural adakalanya bersentuhan, tetapi hal ini merupakan hal yang jarang. Tradisi-tradisi kritik dan sosiopsikologis tidak pernah datang bersamaan, sibernetika dan semiotik pun jarang datang bersamaan. Dalam hal demikian asumsi-asumsi dasar yang mendorong tradisi sangat bertentangan.
4. Ketika mengganti konteks, tradisi-tradisi yang berbeda menjadi kurang berharga, karena komunikasi itu multi kontekstual setiap tradisi memiliki nilai dalam membantu kita memahami persamaan dan perbedaan dalam konteks.
5. Meskipun tradisi-tradisi tidak menyebarkan dirinya dengan sama untuk semua konteks, distribusi-distribusi itu juga tidak terbatas dalam jangkauan perhatian yang sempit. Misalnya teori kritik yang sering menegaskan tentang struktur sosial yang luas juga berkontribusi pada pemahaman kita akan masing-masing pelaku komunikasi sebagai tompangan identitas politis. Bahkan tradisi sosiopsikologis yang mengaplikasikan dengan sangat jelas pada individu-individu, memiliki sesuatu yang harus dikatakan tentang kelompok, organisassi dan bahkan media kaitanya dengan peran psikologi dalam kesatuan sosial.

terjemahan Komunikasi STEPHEN W. LITLLE JHON

BAB 2
GAGASAN TEORI

Teori-teori menyusun dan menyatukan pengetahuan yang sudah ada, sehingga kita tidak perlu memulai semua penelitian dari awal. Teori-teori atau pengetahuan yang terorganisir dari satu bidang yang dikembangkan oleh hasil-hasil dai akademisi-akademisi sebelumnya membuat titik awal untuk memahami bidang apapun. Istilah teori komunikasi dapat mengacu padasebuah teori tunggal atau dapat digunakan untuk menandakan kearifan kolektif yang ditemukan dalam seluruh kesatuan teori-teori yang berhubungan dengan komunikasi. Setiap teori melihat pada sebuah proses dari sudut pandang yang berbeda, mengajak anda untuk memikirkan apa yang dimaksud oleh komunikasi dan bagaimana komunikasi bekerja dari titik tersebut.
Apa itu teori? Kita telah membicarakannya tanpa mendefinisikannya. Penggunaan istilah berawal dari teori Farmer Jones tentang ketika ia mulai menjawab teori relativitas einstein. Bahkan ilmuwan, penulis, dan filsuf menggunakan istilah yang berbeda-beda. Tujuan buku ini adalah merepresentasikan sebuah cakupan pemikiran----teori-teori yang luas mengenai komunikasi. Oleh karena itu, kami menggunakan istilah teori untuk cakupan yang lebih luas, seperti konsep penjelasan dan ilmu-ilmu dari beberapa aspek pengalaman manusia.
Semua teori merupakan abstrak. Mereka selalu mengurangi pengalaman menjadi sebuah bentuk kategori-kategori dan hasilnya selalu menghasilkan sesuatu. Sebuah teori memfokuskan kita pada sesuatu----pola, hubungan, variabel----dan mengabaikan yang lainnya. Tidak ada teori yang mengungkapkan “kebenaran” atau mampu untuk benar-benar menyampaikan subjek atau penelitiannya. Teori-teori berfungsi sebagai panduan yang membantu kita memahami, menjelaskan, mengartikan, menilai dan menyampaikannya.
Teori juga merupakan susunan. Yang diciptakan manusia bukan diciptakan dari tuhan. Teori merepresentasikan beragam cara para peneliti mengamati objek dan bagaimana peneliti merepresentasikan pada objek tersebut. Abraham Kaplan menulis “bentuk sebuah teori bukan hanya penemuan dari sebuah fakta tersembunyi. Teori adalah cara untuk melihat fakta, menyusun dan menunjukkannya”. Stanley Deetz menambahkan bahwa “sebuah teori adalah sebuah cara untuk melihat dan memikirkan dunia, oleh karena itu hal itu lebih baik dilihat sebagai “kacamata” yang digunakan seseorang dalam pengamatan daripada sebuah cerminan alam”.
Teori merupakan tafsiran, sehingga mempertanyakan kegunaan sebuah teori lebih bijaksana daripada mempertanyakan kebenarannya. Kebenarannya itupun dapat dilihat dari berbagai macam cara, tergantung dari orientasi teori. Sebuah teori menawarkan suatu cara untuk menagkap “kebenaran” dari sebuah fenomena tetapi bukan satu-satunya untuk memandang satu fenomena tersebut. Teori dapat mendukung bagaimana kita bertindak. Teori berisi seperangkat pelajaran untuk membaca dunia dan bertindak didalamnya.

Dimensi-Dimensi Teori
Ada empat dimensi teori (1) asumsi filosofi atau kepercayaan dasar yang mendasari teori (2) konsep atau susunan-susunan pembentukan (3) penjelasan atau hubungan dinamis yang dihasilkan teori, dan (4) prinsip atau paduan untuk tindakan.

Asumsi Filosofi
Titik awal adalah semua teori adalah asumsi-asumsi filosofi yang mendasari. Asumsi-asumsi yang dipakai seorang ahli teori menentukan bagaimana sebuah teori akan digunakan. Oleh sebab itu, dengan mengetahui asumsi-asumsi dibalik sebuah teori merupakan langkah pertama untuk memahami teori tersebut. Asumsi-asumsi filosofi tersebut dibagi menjadi tiga jenis utama, epistimologi atau pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Asumsi mengenai Ontologi atau pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaannya. Dan asumsi Aksiologi atau pertanyaan-pertanyaan tentang nilai. Semua teori baik secara eksplisit maupun implisit memasukkan asumsi-asumsi mengenai sifat pengetahuan dan bagimana hal tersebut diperoleh apa yang mendasari keberadaannya, dan apa yang berharga.
Epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang-orang mengetahui apa yang mereka ketahui. Pertanyan-pertanyaan berikut merupakan pertanyaan-pertanyaan paling umum mengenai epistemologi yang berhubungan dengan komunikasi.
Pada tingkatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman? Banyak yang percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman. Kita mengamati tentang dunia sehingga kita mengerti dunia. Akan tetapi masih ada sifat dasar kita yang memberikan sejenis pengetahuan, bahkan sebelum kita mengalaminya. Kemampuan untuk berfikir dan merasakan seringkali disebut sebagai bukti untuk mekanisme yang melekat tersebut.
Pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti? Apakah pengetahuan yang ada disunia bersifat mutlak, sehingga dapat diambil oleh siiapaa saja yang menemukannya. Atau pengetahuan relatif dan berubah? Perdebatan masalah ini telah terjadi diantara para filsuf selama ratusan tahun dan ahli teori komunikasi menempatkan dirinya dalam tempat-tempat yang berbeda pada rangkaian kesatuan ini juga. Pendirian universal yang percaya bahwa mereka mencari pengetahuan yang mutlak dan tidak berubah akan mengalami kesalahan dalaam teorinya. Akan tetapi mereka percaya bahwa kesalahaan-kesalahan ini hanyalah sebuah hasil dan belum ditemukannya kebenaran yang utuh.
Ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat makhluk hidup. Epistemologi dan ontologi berjalan beriringan karena gagasan-gagasan tentang pengetahuan sebagian besar bergantung pada pemikiran kita mengenai siapa yang mengetahui. Dalam ilmu sosial, ontologi sebagian besar berhadapan dengan sifat keberadaan manusia, dalam komunikasi, ontologi berpusat pada sifat interaksi sosial manusia karena cara seorang ahli teori mengkonseptualisasikan interaksi sebagian besar bergantung pada bagaimana penghubung tersebut dipandang sedikitnya ada empat masalah penting.
Pertama pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata? Walaupun semua penelitian nampaknya setuju bahwa orang-orang merasakan pilihan. Kedua apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat . pernyataan ini berhubungan dengan apakah ada dimensi yang cukup stabil sifatnya atau kondisi-kondisi sementara yang lebih mempengaruhi manusia yang disebut dengan keadaan. Ketiga apakah pengalamman manusia semata-mata individual atau sosial? Hal ini berhubungan apakah individu atau kelompok membawa banyak beban untuk menentukan tindakan manusia. Pada tingkatan keempat apakah komunikasi menjadi kontekstual?fokus pertanyaan ini adalah apakah perilaku diatur oleh prinsip-prinsip universal atau apakah hal ini tergantung pada faktor-faktor situasional.
Aksiologi cabang filosofi yang berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai. Nilai-nilai apa yang memandu dalam penelitian dan apa implikasi nilai-nilai tersebut bagi hasil penelitian? Maka akademisi komunikasi, masalah aksiologi ini penting.
Bisakah teori bebas dari nilai? Ilmu pengetahuan klasik menjawab kegelisahan aksiologi yang pertama ini dengan jawaban setuju, bahwa teori dan penelitian bebas dari nilai, bahwa ilmu bersifat netral, dan apa yang coba dilakukan oleh akademisi adalah untuk mengungkapkan fakta bagaimana adanya. Menurut pandangan ini ketika nilai-nilai ilmuwan menimpa karya mereka, maka hasilnya adalah ilmu pengetahuan yang buruk. Akan tetapi pada posisi yang berbeda dalam masalah ini: bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas dari nilai karena penelitian selalu dipandu oleh pilihan apa yang diteliti, bagaimana melakukan penelitian, dan sebagainya. Masalah nilai kedua berfokus pada pertanyaan apakah akademisi mengganggu, sehingga mempengaruhi proses yang sedang dipelajari. Dengan kata lain pada tingkatan apa proses penelitian itu mempengaruhi apa yang s edang diamati? Pada tingkatan apakah peneliti menjadi satu bagian dari sistem yang sedang diteliti dan juga mempengaruhi sistemnya. Sudut pandang ilmiah tradisional adalah pada apa yang harus diamati baik-baik oleh para ilmuwan tanpa adanya campur tangan sehingga diperoleh keakurasian. Banyak kritik yang meragukan kemungkinan ini, percaya bahwa tidak ada metodepengamatan yang benar-benar bebas dari ditorsi. Masalah ketiga dalam aksiologi berhubungan dengan akhir penelitian yang dilakukan. Haruskah penelitian dirancang untuk mencapai perubahan atau apakah fungsinya hanya untuk menghasilkan pengetahuan.? Para ilmuwan tradisional menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab terhadap cara-cara penggunaan pengetahuan ilmiah—dapat digunakan pada hal yang baik atau hal yang buruk.
Oleh karena itu secara keseluruhan ada dua posisi yang terletak pada masalah-masalah aksiologi ini. Pada satu sisi, beberapa akademisi mencari objektifitas dan pengetahuan yang mereka percaya bahwa sangat bebas nilai. Disisi lain bahwa ilmu yang sadar nilai, dimana peneliti mengenali pentingnya nilai-nilai bagi penelitian dan teori, berhati-hati untuk menghargai pendirian mereka, serta menjadikan usaha yang dilakukan untuk mengarahkan nilai-nilai tersebut dalam cara yang positif.

KONSEP
Dimensi utama eori adalah konsep-konsep atau kategori-kaegorinya. Materi-materi dikelompokkan kedalam kategori-kategori konsptual mmenurut kualitas-kualitas yang diamati. Konsep istilah dan definisinya memberitahukan kita apa yang dilihat oleh ahli teori atau oleh ahli teori dan apa yang dianggap penting. Untuk menentukan konsep ahli teori komunikasi mengamati banyak variabel dalam interaksi manusia dan menggolongkannya dan menandainya menurut pola-pola yang diterimanya. Hasilnya dan tujuan teori adalah untuk merumuskan dan mengartikan konsep-konsep yang telah ditandai. Istilah konseptual yang telah diidentifikasi menjadi sebuah bagian penting dari teori dan seringkali istilah-istilah khusus berfungsi sebagai istilah-istilah konseptual bagi salah satu teori belum tentu dapat digunakan untuk yang lain. Teori memiliki tujuan untuk memberikan sebuah susunan kategori untuk sesuatu tanpa menjelaskan bagaimana mereka saling berhubung-dikenal dengan sebutan taksonomi.

Penjelasan
Sebuah penjelasan merupakan dimensi selanjutnya dari teori dan disini para ahli teori mengidentifikasikan keteraturan atau pola dalam hubungan antar variabel, misalkan penjelasan menjawab pertanyaan: Kenapa? Sebuah penjelasan mengidentifikasi sebuah “kekuatan logis” antar variabel yang menghubungkan mereka. Sebagai contoh seorang ahli teoori dapat membuat hipotesis bahwa jika anak-anak melihat banyak tayangan kekerasan dalam tayyangan televisi, maka merreka akan mengembbangkan kecenderungan akan melakukan tinndak kekerasan. Dalam ilmu pengetahuan sosial, hubungannya jarang dianggap sesuatu yang mutlak.
Ada beberapa jenis penjelasan, tapi dua penjelasan paling umum adalah kausal dan praktis. Dalam penjelasan kausal kejadian-kejadian dihubungkan sebagai hubungan sebab akibat, dengan salah satu variabel yang dianggap sebagai salah satu hasil atau akibat variabel lainnya. Sebaliknya penjelasan praktis menjelaskan tindakan-tindakan sebagai tujuan yang terhubung dengan tindakan yang dirancang dengan mencapai tujuan dimasa yang akan datang. Dalam kausal kejadian ditentukan oleh beberapa kejaadian yang mendahuluinya. Dalam penjelasan praktis, akibat-akibat terjadi karena tindakan-tindakan yang dipilih. Perbedaan anpenjelasan antara kausal dan praktis merupakan hal yang penting dalam perdebatan mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak ahli tradisional yang mengatakan bahwa teori-teori harus berenti pada penjelasan. Para akademis percaya bahwa teori menggambarkan hal-hal sebagaimana adanya, dengan mengidentifikasi dan menjelaskan mekanisme kausal kejadian tersebut. Akademisi lain mempertahankan bahwa teori-teori harus menembus penggambaran dan harus memberikan paduan tindakan praktis, sebuah pendekatan yang yang membuat penjelasan praktis menjadi penting.

Prinsip
Prinsip merupakan dimensi terakhir dari teori. Sebuah prinsip merupakan sebuah acuan yang memungkinkan anda untuk mengartikan sebuah kejadian, membuat penilaian apa yang terjadi, dan selanjutnya memutuskan bagaimana bertindak dalam situasi tersebut. Sebuah prinsip memiliki tiga bagian: (1) mengidentifikasi sebuah situasi atau kejadian (2) menyertakan seperangkat norma atau nilai. (3) menegaskan sebuah hubungan antara susunan tindakan dan akibat yang mungkin. Sebagai contoh anda dapat mengatakan (1) ketika memberikan sebuah pidato publik (situasi) (2) pendengar anda sangat penting (nilai) (3) anda harus mencoba untuk terbiasa dengan pengetahuan,sikap, dan tindakan pendengar. Ingatlah bahwa anda tidak menyatakan setiap bagian, namun setidaknya mereka menangkap secara tersirat dan dapat menyimpulkannya. Prinsip-prinsip memperbolehkan seorang peneliti untuk merefleksikan pada kualitas tindakan yang diamati dan juga untuk memberikan panduan bagi praktik, tidak seperti penggunaan prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada persetujuan, setidaknya dalam ilmu pengetahuan sosial, mengenai apakah teori harus menyertakan prinsip untuk penilaian dan tindakan. Beberapa ahli teori cukup senang dengan dengan hanya menawarkan konsep dan penjelasan tanpa membuat rekomendasi mengenai dasar teorisasi mereka. Bagi ahli-ahli teori yang lain justru menghasilkan prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar tindakan di dunia merupakan keseluruhan tujuan untuk keterlibatan dalam pembuatan teori.
Dimensi teori yang beragam hanya menggambarkan----asumsi, konsep, penjelasan, dan prinsip---tergabung dalam cara-cara yang berbeda untuk menyusun teori yang berbeda. Untuk lebih jauh bagaimana kombinasi elemen-elemen teoritis yang beragam menghasilkan jenis-jenis yang berbeda, kita akan menggunakan dua teori paradigma sebagai contohnya. Teori nomotetik dan teori praktis. Dua teori ini memberikan ujung sebuah teori dan rangkaian penelitian yang tidak serapi dalam kenyataan. Seperti yang akan dihadirkan disini, menunjukkan bagaimana dimensi-dimensi teori yang berbeda membantu dalam menyusun sudut pandang dan pendekatan penelitian yang berbeda.