Halaman

Cari Blog Ini

Minggu, 08 Juli 2012

KRITIK TERHADAP KONTEN MEDIA TELEVISI DALAM MEWUJUDKAN FUNGSI MEDIA YANG MENDIDIK

Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi komunikasi massa adalah yang pertama fungsi informasi dan mendidik, kedua fungsi hiburan, ketiga fungsi persuasi, keempat fungsi transmisi budaya, kelima mendorong kohesi sosial, keenam fungsi pengawasan, ketujuh pewarisan sosial, kedelapan melawan kekuasaan dan kekuatan represif, kesembilan menggugat hubungan trikotomi. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan (UU Penyiaran No.32 Th 2002 Bab 1 pasal 1 (4) ) Televisi sebagai media komunikasi massa yang mampu diakses dan ditonton secara serentak pada waktu dan hari yang sama. Beragam acara dan beragam peristiwa dapat disaksikan melalui layar kaca yang dimiliki hampir seluruh masyakat dunia. Memasuki era abad ke 21 dimana “kebebasan” dimiliki setiap media di Indonesia, yang berdampak pada semakin tumbuh kembangnya industri media di Indonesia. Semakin banyaknya stasiun televisi di Indonesia namun tidak diimbangi dengan filter sebagai pondasi rasa aman dan rasa nyaman bahwa program yang disampaikan memang layak “konsumsi” bagi seluruh kalangan masyarakat, tanpa kecuali kalangan anak-anak. Bahkan banyaknya program acara pada stasiun televisi terkesan memarginalkan program tayangan anak-anak. Hal ini dapat dilihat pada prosentase tayangan pada televisi nasional kita di Indonesia, rata-rata tayangan di televisi masih menayangkan program-program acara dewasa, dan rasanya anak-anak disuguhi dan di jejali dengan tayangan untuk dewasa tersebut. Mau tidak mau, anak-anak menerima keadaan tersebut, sehingga dapat kita lihat anak-anak pada zaman modern ini tumbuh berkembang sebelum waktunya. Sebenarnya, tayangan televisi khusus anak-anak itu ada, namun hanya berapa persen dari layanan stasiun yang bisa dinikmati secara gratis, dan yang lain adalah layanan program acara untuk anak-anak pada televisi siaran berlangganan. Namun, tampaknya kebebasan yang ada sekarang ini tak membuat media televisi menunjukkan pertanggungjawabannya dalam usaha mencerdaskan bangsa melalui tayangan-tayangan yang ada. Tayangan tersebut tak lagi diperhatikan segi kualitasnya melainkan lebih cenderung memperhatikan nilai tukarnya, seberapa untung stasiun televisi terkait jika menayangkan program acara tertentu. Inilah kemudian yang menjadi masalah karena dengan demikian, masyarakat tak lagi dianggap sebagai orang-orang yang akan disuguhi tayangan berkualitas dan mendidik tetapi justru masyarakat ditempatkan sebagai objek yang dijual. Mengapa demikian? Hal ini karena bukan hanya tayangan televisi yang dijadikan komoditas tetapi masyarakat pun demikian; masyarakat akan menentukan rating suatu program acara televisi swasta tertentu. Masih ingatkah kita dengan iklan snack Tory Cheese Cracker , dengan model perempuan “ngangkang” maju mundur dengan dua model laki-laki. Segmentasi iklan tersebut sebenarnya cukup jelas, bahwa iklan tersebut bertujuan menggaet konsumen anak-anak hingga mereka yang berusia remaja, namun pemilihan model dan cara penyajian iklan tidak seharusnya demikian. Untuk selanjutnya iklan majalah detik, dengan kemajuan tekhnologinya yang menunjukkan bahwa majalah Detik bisa diakses melalui media online dengan memakai kecanggihan teknologi saat ini, dengan bertujuan menghemat penggunaan kertas dan ikut serta pelestarian lingkungan, namun pada segmen terakhir terlihat Model dalam iklan tersebut menyingkingkan Majalah Detik dimeja dengan begitu saja sehingga majalah jatuh dari meja dan berhamburan. Satu lagi contoh iklan Air Asia (versi butuh cuti), seorang model dengan geram memukul-mukul mesin fotocopy dan melempar dengan sepatu lalu meninggalkan begitu saja, apakah iklan tersebut mencerminkan tindakan yang baik yang bisa jadi suri tauladan pada para penonton televisi? Jawabannya tidak. Kasus “korban” iklan seperti yang telah saya sebutkan diatas, saya pernah mengalami dan melihat anak-anak memperagakan “joged” ala iklan tory-tory, dan seorang anak mengamuk dengan ibunya karena dirinya (si anak) ingin membaca buku pelajaran dengan menggunakan Ipad, lantas si anak membuang buku-buku pelajaran dengan alasan baca buku tidak dengan internet dibilang kuno. Efek iklan memang benar-benar manjur dalam hal ini. Terlepas dari iklan, kita amati program acara televisi kita. Beberapa stasiun televisi mulai “Latah” dengan acara Talk Show, dan acara komedian. Tapi apakah acara Talk Show dan komedian terbebas dari unsur menyimpang dari aturan dan etika penyiaran? Jawabannya tetap sama, menyimpang dari etika dan muatan pendidikannya minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Perempuan yang menjadi Host dalam sebuah acara Talk Show tertawa ngakak dengan gaya rokernya, hal demikian dapat kita saksikan dalam tayangan Talkshow @Showimah yang ditayangkan oleh Transtv pada setiap hari Senin-Jumat Pukul 16.00-17.00 , laki-laki dengan gaya “cabul” dan terkadang terkesan merendahkan seseorang dapat kita saksikan dalam acara Bukan Empat Mata dengan Tukul sebagai Host yang tayang setiap Senin-Jumat pada pukul 22.00-23.00 , atau bahkan lelaki sebagai Host yang selalu berwajah sinis dan selalu bertanya kepada nara sumber dengan sinis dan bahkan terkadang sering memojokkan nara sumber dapat disaksikan pada program acara yang dimiliki Trans7, Hitam Putih dan Dedy Corbuzier sebagai host. Saya memahami bahwa keadaan demikian bukan realitas sesungguhnya dari kehidupan mereka, realitas yang mereka ciptakan pada acara tersebut bukan serta merta dia (Host) yang menciptakan dengan tujuan merendahkan atau menyinggung seseorang atau kelompok tertentu, mereka meyakini bahwa itu hanya “Just Kidding”, namun apakah tidak ada guyonan yang bermutu, yang lebih berbobot. Belum lagi acara lawakan yang tayang setiap hari mengisi layar televisi kita tanpa jeda, namun tuntutan acara yang kejar tayang memunculkan tidak “mutu” acara yang disuguhkan oleh stasiun televisi kita. Belum lagi hadirnya acara “gombal-gombalan” dengan dewi cinta, bahkan yang terbaru muncul acara “menikah denganku”, kita dibuat semakin kerdil, bahwa untuk melamar seseorang tak usah repot-repot, hanya denga ikut acara “menikah dengan ku” urusan melamar beres. Acara sinetron televisi pun tak luput dari sorotan tatanan etika. Isi sinetron dari zaman dulu sampai sekarang sepertinya sama terus, berkecimpung dalam urusan rebutan lelaki, harta, dan kesemuanya itu berujung pada konflik-konflik, bahkan dengan sadis cerita selalu menghadirkan tokoh utama yang hendak di lenyapkan (dibunuh). Bisa dibilang bahwa acara sinetron di televisi kita rawan dengan konflik. Apakah contoh yang demikian layak “dikonsumsi” secara Massal (tanpa pandang usia). Para pelaku media televisi di Indonesia belum mampu membedakan mana yang menjadi ranah pulik dan mana yang menjadi ranah privat. Semua campur aduk, dan pada kenyataannya kita di dorong oleh realita yang demikian. Contoh riil adalah tayangan Infotaiment. Apa untungnya jika kita tahu ketika artis “A” cerai dengan artis “B”. Hal demikian jelas, bahwa kejadian yang menimpa keluarganya merupakan “aib” yang kemudian menjadi produk dari media televisi kita. Belum lagi kabar seputar artis yang putus nyambung dengan pasangan-pasangannya. Apakah jika tayangan demikian di suguhkan kepada khalayak memiliki kontribusi yang berarti. Public Figure seharusnya menjadi contoh yang menjadi tuntunan bagi para penggemarnya. Bukan malah justru sebaliknya. Acara televisi Reality show yang menyoroti sisi kemiskinan seseorang, yang menggambarkan seolah-olah orang tersebut hidup hanya dengan keadaan yang seadanya. Kemiskinan yang dipertontonkan. Adalagi Reality show yang penuh petualangan dan konflik. Dalam setiap episodenya tim acara tersebut membantu seorang klien untuk mencari keberadaan target yang ingin ditemukannya. Pencarian tesebut berdasarkan hasil penyelidikan tim dan klien. Banyak kejadian yang dianggap “menarik” selama proses pencarian tersebut, mungkin para penonton bisa di buat jengkel, marah, senang, bahagia, sedih dan bahkan bisa menangis. Program tesebut dibuat setting secara berlebihan. Tayangan dapat kita lihat dalam tayangan drama reality show Termehek Mehek Transtv. Belum lagi masalah ajang pencarian bakat yang akhir-akhir ini banyak bermunculan. Hadirnya ajang pencarian bakat ini menjadikan masyarakat hidup dalam tatanan realitas diatas realitas. Hidup yang penuh angan-angan, dan mereka juga disibukkan untuk mengikuti audisi pada satu kota ke kota yang lain. Lantas apakah mereka bisa mewujudkan angan-angan mereka? Yang terakhir adalah munculnya tayangan tentang dunia mistis, tujuan utama acara ini cukup jelas, bahwa kita sebagai manusia diminta agar selalu waspada dan tidak selalu menyerahkan segala urusan yang mempersulit dalam kehidupan kita kepada dunia gaib. Kita yakin bahwa Tuhan itu satu. Namun, munculnya tayangan dunia mistis, membuat Mindset kita berpendapat bahwa dunia lain itu ada. Dan bahkan tanpa kita sadari kita meyakini bahwa dunia lain itu benar-benar ada. Relevansi acara yang demikian apa manfaatnya, jika memang acara yang demikian merupakan strategi intertainment sebagai fungsi menghibur, bisa jadi memang iya. Namun terkadang pemirsa yang menyaksikan tanyangan tersebut malah justru berfikir keras tentang apa yang ingin disampaiakan oleh si pembuat program tersebut. Ketika seseorang membutuhkan sebuah hiburan, yang diharapkan adalah mampu membuat relaksasi fikiran tersendiri, sehingga setelah menyaksikan program acara mampu membuat fikiran lebih tenang. Lemahnya pengawasan Kita tahu bahwa penyiaran di Indonesia itu diatur dan ditetapkan berdasarkan aturan-aturan dan Undang-Undang, dalam penyiaran di atur dengan Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 yang didalamnya juga terdapat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) , namun lemahnya sistem hukum di Indonesia membuat carut marutnya aturan-aturan yang sebenarnya telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Jika kita mengacu pada beberapa pasal yang terdapat pada UU No.32 Th.2002 pada Bab 1 pasal 1 (11) “tatanan nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antar wilayah di Indonesia dan dunia Internasional”. Bab 2 pasal 4 (1) “penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Pasal 5 (c) penyiaran diarahkan untuk : Meningkatkan sumber daya manusia. Bab 3 Pasal 7 (1) “komisi penyiaran sebagaimana yang dimaksud disebut Komisi Penyiaran Indonesia, di singkat KPI”. Pasal 8 ayat 3 Tentang Tugas dan kewajiban KPI (a) KPI menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Dan pada P3SPS Bab 4 pasal 31 tentang Kesopanan, Kepantasan, dan kesusilaan “sesuai dengan kodratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang, ekonomi, budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkan tidak merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan menyinggung nilai-nilai dasar yang memiliki beragam kelompok khalayak tersebut”. Bab 4 Pasal 51 (b) tentang pelecehan kelompok masyarakat tertentu “kelompok masyarakat yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti Waria, banci, Pria yang keperempuanan, perempuan yang kelelaki-lakian, dan sebagainya”. Semua itu cukup jelas apabila kita melihat aturan yang tertuang dalam UU Penyiaran No.32 Th. 2002 dan P3SPS. Namun apakah semua tayangan ditelevisi kita sudah sesuai dengan kaidah dan aturan-aturan ini. Saya yakin semua itu butuh kecermatan untuk menganlisis fenomena-fenomena seperti yang sudah saya sebutkan, itu hanya sebagian masih ada yang lebih banyak lagi. Menyikapi fenomena yang demikian, kita sebagai masyarakat diminta untuk menjadi masyarakat yang berfikir kritis sehingga kita dapat menyeleksi mana tayangan yang layak kita tonton dan mana tayangan yang seharusnya kita tidak tonton. Mengutip dari Kamelia Jedo dalam opini 3 April 2011 di Kompasiana.com hal ini diperlukan untuk menghindari timbulnya dampak buruk jika kita tidak secara selektif menentukan tontonan televisi yang akan kita konsumsi. Namun demikian, bukan berarti kita harus menjadi apatis terhadap televisi karena di satu sisi televisi memberikan banyak manfaat kepada masyarakat. Untuk itulah, tidak mudah pula mereduksi kelebihan dan dampak positif televisi dan tayangannya hanya karena adanya potensi timbulnya dampak buruk bagi masyarakat. Lebih lanjut, dampak buruk yang ditimbulkan pun tidak seharusnya diabaikan begitu saja karena hal ini akan sangat terkait dengan masa depan masyarakat ketika tayangan-tayangan tidak berkualitas terus mewarnai program pertelevisian swasta. Terlebih ketika segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai jual dijadikan komoditas untuk program acara televisi dan bahkan masyarakat pun menjadi komoditasnya. Globalisasi Teknologi dan Komunikasi Massa Globalisasi media massa beawal dari emajuan tekhnologi komunikasi dan informasi semenjak dasawarsa 1970-an. Dalam pengertian itu kita bertemu dengan istilah popular seperti banjir komunikasi, era informasi, masyarakat informasi atau era stelit. Arus informasi meluas keseluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi acara liputan. Pada akhirnya, sistem media masing-masing Negara cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi disuatu Negara akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di Negara lain, atau dengan kata lain, menurut istilah Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatren 2000 (1991), dunia kini telah menjadi “Global Village”. (Kuswandi,1996:1) Di Indonesia Globalisasi terus bergulir ditandai era pasar bebas dengan liberalisasinya. Disusul lengsernya kekuasaan orde baru telah membawa perubahan cukup signifikan di semua aspek kehidupan. Media massa ikutan arus globalisasi sehingga kebijakan politik-ideologi media mengalami pergeseran fungsi. Sebagai perusahaan atau lembaga komunikasi, produk-produk media berupa industri informasi tidak hanya sekadar penyebar informasi, pendidikan dan hiburan. Di era otoritarian, keberadaan media massa mendapat pengawasan rezim yang berkuasa. Media massa cenderung menjadi state apparatus, setidaknya digiring menjadi subordinasi dari sistem politik dan pemerintahan sehingga kebijakan media tak boleh menyimpang. Restriksi-restriksi sering dialami pengelola media, jika tak sesuai “aturan main” yang digariskan maka jangan harap kelangsungan media bertahan. Beberapa media massa (terutama media cetak) banyak menjadi korban, mulai dari ancaman, penganiayaan terhadap pekerja media sampai diberlakukannya sanksi pembreidelan. Ini menandakan bahwa kemerdekaan (kebebasan) pers saat itu masih jauh dari harapan. Televisi tampaknya sudah diasosiasikan dengan pesan (yang berbeda yang selalu diingat), organisasi (kompleks yang besar), distribusi (sumber universal bagi semua orang), teknologi tinggi dengan profesi baru (pembuat berita atau cerita televisi). Sudah tidak diragukan lagi bahwa sistem media komunikasi massa pasti akan mengalami perubahan (barangkali secara radikal) karena adanya berbagai kemungkinan dan tantangan teknologi baru dalam semua tahap komunikasi. (Kuswandi,1996:4) Sepintas Sejarah Pers di Indonesia  Berlangsungnya reformasi tahun 1998 ternyata telah mampu mengubah tatakelola dan sistem pemerintahan di republik ini. Salah satu produk dari sistem pemerintahan baru yaitu lahirnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, sekaligus merupakan tonggak awal dimulainya kemerdekaan (kebebasan) pers yang semenjak lama diidamkan.  Terlepas dari kepentingan apa yang melatarbelakangi lahirnya UU Pers ini, yang jelas liberalisasi semakin mendapatkan tempat, bahkan setiap warga negara diperbolehkan menyatakan pendapat termasuk mendirikan perusahaan pers. Dalam UU Pers yaitu Pasal 9 ayat (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sungguh ini menjadi “lahan baru” bagi mereka yang berjiwa wirausaha, peluang segera ditangkap oleh mereka yang memiliki cukup modal untuk mendirikan perusahaan media karena dijamin undang-undang.  Betapa tidak, jika dibanding mendirikan sebuah restoran – mungkin mendirikan perusahaan media (pers) lebih gampang karena proses perizinannya tidaklah rumit! Sejak itulah dunia pers atau media massa tumbuh “bak jamur di musim hujan” seiring euforia reformasi, bahkan sulit dibedakan mana media massa yang dapat dikategorikan dikelola secara profesional atau amatiran.  Tercatat dalam sejarah perkembangannya, jumlah media masaa terutama cetak mengalami lompatan luar biasa tahun 1998, awal era reformasi. Setiap orang sangat mudah mendirikan perusahaan media massa. Media berbasis internet juga berkembang pesat mengikut maraknya pertumbuhan media massa. Komunikasi Massa Sekarang kita tidak lagi menyamakan “komunikasi Massa” atau “media massa” dengan jurnalisme dalam menyebut media selain Koran dan majalah. Tentu saja dalam setiap komunikasi membutuhkan medium atau sarana pengirim pesan seperti kolom di Koran atau gelombang siaran. Namun komunikasi massa merujuk pada keseluruhan institusinya yang merupakan pembawa pesan Koran, majalah, atau stasiun pemancar yang mampu menyampaikan pesan ke jutaan orang yang nyaris serentak. Sebagai pranata sosial keberadaannya tidak hanya membuahkan manfaat namun juga masalah: kontrol, pembatasan pemerintah, sarana penunjang ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu komunikasi massa dapat diartikan dalam dua cara, yakni pertama, komunikasi oleh media, kedua komunikasi untuk massa. Namun ini tidak berarti komunikasi massa adalah komunikasi untuk semua orang. Media tetap cenderung memilih khalayak, dan demikian pula sebaliknya khalayak pun memilih-milih media. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:18) Karakteristik Komunikasi Massa Menurut Rivers, dalam bukunya Mass media and Modern Society 2nd (di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:19-20) karakteristik terpenting pertama komunikasi massa adalah sifatnya yang satu arah. Memang ada televisi atau radio yang mengadakan dialog interaktif yang melibatkan khalayak secara langsung, namun itu hanya untuk keperluan terbatas. Kedua, selalu ada proses seleksi. Bahwa media massa itu memilih khalayaknya, dengan memberikan segmentasi yang tepat sehingga mampu menjawab akan kebutuhan informasi. Ketiga karena media menjangkau khlayak secara luas, jumlah media yang dibutuhkan sebenarnya tidak usah terlalu banyak sehingga kompetisinya selalu berlangsung ketat. Keempat untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu. Kelima komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Ada interaksi antara media massa dan masyarakat. Media tidak hanya mempengaruhi tataran politik, sosial, ekonomi dimana ia berada, namun juga dipengaruhi olehnya. Oleh karena itu untuk memahami media secara baik, kita harus pula memahami lingkungan atau masyarakat dimana media itu berada. Media Televisi Saat Ini Televisi merupakan media dominan komunikasi massa seluruh dunia. Dan sampai sekarang masih terus berkembang. Dengan sekitar 900 stasiun televisi, belanja iklan di televisi terus melonjak dari US$ 561 juta di tahun 1949 menjadi US$ 3,6 Milyar di tahun 1969. Peminat pengiklan ditelevisi sangat besar, namun sayang baiyanya relative sangat mahal. Jika biaya iklan di televisi bisa diturunkan, maka kemungkinan besar belanja iklannya akan tumbuh lebih cepat. (Rivers, Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar dan Priatna, 2004:22) Di Indonesia media televisi bukan lagi dilihat sebagai barang mewah, seperti pertama kali ada. Kini media layar kaca tersebut menjadi barang kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dengan kata lain, informasi sudah merupakan bagian dari hak manusia untuk aktualitas diri. Masuknya media televisi di Indonesia (Jakarta) pada tahun 1962 bertepatan dengan “The 4th Asian Games”. Ketika itu Indonesia sebagai penyelenggara. Peresmian pesta olahraga tersebut bersamaan dengan peresmian penyiaran televisi oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 24 Agustus 1962. Televisi yang pertama kali muncul adalah TVRI dengan jam siar antara 30-60 menit sehari. Jumlah pesawat televisi yang ada di Jakarta sebanyak 10.000 unit. Tujuh tahun setelah TVRI diresmikan (1969), jumlah pesawat televisi di Jakarta meningkat menjadi 65.000 unit, sampai akhir Maret 1972 jumlah televisi di Indonesia adalah 212.580 unit. (Kuswandi, 1996:34) Pertelevisian di Indonesia berkembang pesat terbukti dengan bermunculannya televisi swasta dibarengi dengan deregulasi pertelevisian Indonesia oleh pemerintah, sejak tanggal 24 Agustus 1990. Ada beberapa alternative tontonan bagi masyarakat pada saat itu, yaitu TVRI, TVRI Programa 2, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV. Dan kemudian dilanjutkan dengan munculnya stasiun televisi Indosiar yang mulai siaran pada tahun 1994. (Kuswandi, 1996:35) Lengkaplah alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Penyebaran teknologi informasi media massa telah lebih jauh memasuki pola peradaban manusia. Indonesia tidak mungkin menghindar dari “gerakan” teknologi yang kian terus menuntut dan “menodong” sisi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak. Siap atau tidak siap, masyarakat harus menerima kehadiran teknologi komunikasi massa yang cangih tersebut. (Kuswandi, 1996:43) Pasca-reformasi, sejarah pers dan media massa di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, bahkan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Paling tidak, jumlah media cetak di Indonesia mencapai ada 829, ditambah 11 stasiun televisi yang mengudara secara nasional yakni TVRI dan stasiun televisi swasta – AS saja hanya dibatasi empat jaringan televisi nasional (ABC, NBC, CBS dan Fox). Itu juga belum termasuk beberapa stasiun televisi swasta daerah serta TVRI stasiun daerah. Tidak hanya itu, kini juga telah beroperasi tujuh televisi berlangganan satelit, enam televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel. Juga udara kita dibuat bising dengan 1188 stasiun siaran radio di Indonesia (baik RRI maupun radio swasta). (sumber : http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2011/07/28/media-dan-realitas/ ) Acara Televisi Dalam Konteks Informasi dan Pendidikan Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk mencapai tujuan, melalui informasi manusia dapat mengetahui peristiwa yang terjadi disekitarnya, memperluas cakrawala sekaligus memahami kedudukan serta peranannya dalam masyarakat. Jika pada masa orde baru, kecenderungan misi media massa adalah mendukung pembangunan, menempatkan media massa pada posisi terpenting dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional. Media massa, khususnya pers yang membangun, pada hakikatnya berupaya memotivasi masyarakat untuk berparisipasi dalam pembangunan. Pers bukan saja menjadi mediator antara pemerintah dengan masyarakat, akan tetapi sekaligus patner pemerintah dan agen pembaharuan dalam segala kompleksitasnya yang berorientasi pada pembangunan nansional. (Kuswandi, 1996:68) Namun pada perkembangan media massa seperti saat ini, seolah masyarakat dalam mengakses informasi semakin tergelincir menjauh dari tatanan etis pada umumnya. Serbuan budaya “Westernisasi” yang menjangkit pada masyarakat kita, menjadikan masyarakat meninggalkan tatanan ajaran moral yang selama ini dianut oleh tiap-tiap individu. Media televisi mengakibatkan munculnya istilah baru yang disebut “mass culture”. Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa melalui kotak kaca ajaib yang menghasilkan suara dan gambar bergerak. Individu juga dihadapkan pada ralitas sosial yang Nampak di televisi. Tradisi-tradisi lokal (identitas budaya masyarakat) seperti sopan santun, menghormati wanita dan orang tua, menjunjung tinggi bahasa Indonesia, melestarikan tarian daerah kini mulai luntur dan terkikis budaya “western”. Dan budaya-budaya asing lebih mendominasi dalam budaya kita sebagai warga Negara Indonesia. Hal demikian pula merupakan dampak implikasi negatif perkembangan media televisi. Dimana kita mampu mendapatkan sajian acara yang informatif dan sesuai dengan kebutuhan? Media televisi rasanya sudah cukup banyak menyuguhkan berbagai tayangan yang ditampilkan pada setiap harinya. Sebagai masyarakat yang membutuhkan informasi dan hiburan, hendaknya kita menjadi masyarakat yang peka yang mampu menyeleksi mana tayangan yang bermanfaat bagi kita dan generasi kita dan mana tayangan yang justru menyesatkan bagi kita. Pemilahan terhadap informasi yang disajikan oleh media televisi merupakan langkah dan tindakan kita sebagai filter dari semakin besarnya arus budaya westenisasi yang masuk ke Indonesia Sebagai tempat bertemunya permintaan dan penawaran dari masyarakat dalam interaksinya dengan kehidupan bermedia pasar juga harus dicermati. Idealnya pasar media harus mencerminan wacana yang sesungguhnya muncul dalam masyarakat. Sebagai komunikator, pihak media seharusnya menyampaikan pesan yang mampu memenuhi masyarakat untuk tahu, dan masyarakatlah yang akan menentukan mana informasi yang sesuai dengankebutuhannya. (Wahyuni, 2000: 209) Dalam fungsi media sebagai “Mass Education”, media adalah sebagai pendidikan nonformal, dan semua bisa mengakses kapanpun dan dimanapun. Dengan mengikut sertakan media massa sebagai konsepsional, kesenjangan antara cita-cita dengan kenyataan daalam bidang pendidikan akan dapat dijembatani dengan lebih cepat. Cita-cita pendidikan bangsa secara ideal telah dituangkan oleh para founding father republik Indonesia dalam kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” pada alenia keempat pembukaan UUD1945, secara konstitusional dalam pasal 31 Bab XIII pendidikan yang berbunyi: 1) tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran, 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang dan selanjutnya secara strategis telah dituangkan dalam GBHN dan Repelita. (Effendy, 2008:99-100) Namun pada kenyataannya saat ini apakah media televisi di Indonesia sudah berperan aktif dalam membantu menjebatani tecapainya pendidikan non formal secara nasional? Bisa dipastikan bahwa media televisi sudah ikut berperan dalam pendidikan nonformal tersebut. namun pada kenyataannya susunan jam siar yang justru terkadang membuat acara tidak tepat sasaran. Misalnya tayangan Madun yang di siarkan oleh MNC TV, tayangan ini menjawab pada karakteristik komunikasi massa poin kedua. Namun ada kesalahan pada jam tayang pada tayangan tersebut. Waktu ideal yang seharusnya digunakan untuk belajar oleh anak-anak, namun dalam otak anak-anak telah di hegemoni oleh tayangan Madun. Pada pukul 18.00-23.00 beberapa stasiun televisi memberikan sajian program acara humor dan beragam tayangan sinetron. Apakah setting timing program acara yang ini benar? Hal demikian membuktikan carut marutnya jadwal yang diberikan media televisi kita. Memang tidak dapat disangkal bahwa media televisi memiliki kekuatan yang ampuh, yang dapat mempengaruhi pola kebiasaan masyarakat. Itu artinya bahwa peran serta orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menyaksikan tayangan televisi sangat dibutuhkan. Agar kontrol dapat berjalan pada semestinya, serta peran serta orangtua dalam memberikan pengertian-pengertian kepada anaknya dharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan bagi si anak. Teori Pendukung 1. Efek Komunikasi Massa Menurut Nurudin dalam buku Pengantar Komunikasi massa (2009:206) efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R. Stamm dan Jhon E. Bowes (1990) membagi kedua bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek skunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). 2. Teori Komunikasi massa Teori Kultivasi Teori Kultivasi (Cultivation Theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gebner ketika ia menjadi Dekan Annanberg School of Communication di Universitas Pennsylania Amerika Serikat (AS). Menurut teori ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat kultur dilingkungannya. Persepsi apa yang terbangun dibenak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya. (Nurudin, 2009:167) Memang apabila dikomparasikan dengan keadaan sekarang, dimana masyarakat bisa mengakses informasi dari manapun (baik cetak atau elektronik) teori kultivasi ini tidak berjalan seperti pada saat teori ini muncul. Namun di Indonesia sendiri tidak semua masyarakat bisa mengakses media massa yang bermacam-macam tersebut. Di wilayah perkotaan mungkin bisa, namun jangan pernah lupa bahwa Indonesia memiliki wilayah yang jauh dari jangkauan perkotaan maupun pemerintahan. Akses media informasi yang mereka peroleh hanya satu, yakni media televisi. Tidak semua anak di Indonesia ini yang beruntung yang setiap saat bisa ditemani oleh orang-orang dewasa pada saat menyaksikan program televisi. Orang-orang tua atau orang yang lebih dewasa kebanyakan disibukkan oleh aktivitas dan rutinitas mereka sehari-hari. Sehingga kontrol terhadap arus informasi yang diperoleh anak-anak tidak seimbang. Belum lagi masalah intelektual yang dimiliki masyarakat Indonesia. Di wilayah pedesaaan saja tidak semua warga lulus tingkat sekolah dasar, jadi kemungkinan mereka tidak paham apa yang disampaikan oleh televisi. Sehingga kadangkala apa yang mereka peroleh dari menonton “ditelan” begitu saja. Misalnya terkait dengan tayangan “Masih Dunia Lain” yang ditayangkan oleh Trans7, jika kita sebagai masyarakat yang memiliki intelektual tinggi menganggap bahwa tayangan tersebut tayangan yang telah di Konstruksikan oleh media itu sendiri, sehingga ketika kita menyasikan tayangan tersebut justru merasa “geli” karena ulah talent yang menurutnya melihat penampakan hantu atau syetan. Namun lain halnya apabila yang menyaksikan tayangan tersebut adalah masyarakat pedesaan yang memiliki low culture, hal tersebut akan “diamini” bahwa tempat tersebut memang angker. Sehingga apabila mereka melewati rumah kosong, tempat sepi dan gelap, mereka akan merasa ketakutan yang berlebihan. Belum lagi tayangan komedi yang sarat dengan adegan ejek-ejekan antar pemain. Budaya yang demikian jika ditonton oleh anak-anak tanpa dampingan dari orang yang lebih dewasa tentunya akan diterima begitu saja. Bisa jadi fenomena yang demikian merupakan faktor menurunnya sopan santun dikalangan anak –anak terhadap orang tua, meskipun tidak keseluruhan. Tayangan adegan kekerasan, kektika anak-anak menyaksikan tayangan Smack Down misalnya, itu merupakan contoh riil dari terpaan media terhadap anak-anak, sehingga menimbulkan efek kognitif dan perubahan perilaku. Acara musik yang disiarkan secara langsung oleh beberapa Stasiun televisi pada setiap pagi hari pada jam belajar sekolah. Dapat disaksisan juga bahwa mereka yang menoton adalah remaja usia sekolah. Tentunya itu adalah tayangan yang tidak mendidik generasi Indonesia dimasa depan. Kesimpulan Di Indonesia setelah pasca reformasi, pendirian pers begitu banyak dan berkembang pesat. Sehingga kadangkala membingungkan kita terhadap media mana yang akan kita pilih sebagai sarana memperoleh informasi. Namun kembali lagi pada individu kita yang memiliki hak untuk memilih media mana yang paling tepat untuk dirinya memperoleh informasi. Semakin banyaknya media massa yang ada di Indonesia seharusnya malah justru menguntungkan bagi kita, karena tentunya informasi tidak hanya diperoleh dari berbagai pihak. Cakupan informasi yang diperoleh lebih luas, jauh lebih mendalam. Di Indonesia, media televisi nasional telah ada puluhan sehingga kita bisa menentukan chanel mana yang akan kita tonton. Ketika menginginkan program hiburan kita bisa menonton Transtv dan Trans7, ketika ingin menonton sinetron kita bisa beralih chanel pada media televisi Indosiar, MNC TV, SCTV atau RCTI. Sedangkan apabila ingin mendapatkan informasi News bisa beralih pada stasiun Metrotv dan TVone. Dan beragam tayangan televisi lokal di Indonesia tentunya membantu referensi kita untuk mengakses informasi. Banyaknya stasiun televisi namun tidak diimbangi oleh banyaknya program acara untuk anak-anak, atau bahkan banyaknya stasiun televisi tidak diimbangi dengan tayangan yang bermutu. Hal ini seharusnya mendapat perhatian tersendiri dari kalangan pemerintah kita. KPI selaku pihak terkait kadangkala tidak mampu membendung arus informasi yang “bebas” yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesia. UU Penyiaran No.32 Th. 2002 seolah tak berdaya menjerat pelaku media yang terbukti melakukan pelanggaran. Pemerintah dan para pemilik stasiun televisi sarat dengan kepentingan. Ditinjau dari waktu siaran dan isi siaran ternyata tayangan televisi masih banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dalam UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 36 Ayat 1 tentang penyiaran disebutkan, dalam setiap isi siaran di media massa wajib mengandung informasi, pendidikan dan hiburan. Selain itu juga disebutkan isi siaran harus bermanfaat untuk pembentukan intelektualitas, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Juga dalam ayat 3 disebutkan, isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja. Masih dalam ayat ini disebutkan dalam menyiarkan mata acara stasiun televisi diwajibkan agar menyiarkan tayangan pada waktu yang tepat serta lembaga penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Namun apakah iklan Tory-tory Cheese Cracker dari Garuda food, iklan Air Asia versi butuh cuti dan tayangan komedi dan banyak program lain sudah sesuai dengan pernyataan ayat ini? Tentunya, para pelaku media harus memperhatikan efek primer dan efek skunder dari program yang disajikan. Diharapkan dengan adanya peran serta para pelaku media dalam memperhatikan kedua hal tersebut, diharapkan mampu mewujudkan tayangan yang penuh dengan nilai edukasi. Penempatan waktu yang tepat dalam jam siarnya, sehingga anak-anak yang tidak semestinya meyaksikan tidak dipaksakan untuk menonton tayangan tersebut. KPI sebagai pihak terkait dalam memantau isi siaran diharapkan juga tegas dalam menindak setiap stasiun yang melakukan pelanggaran. Tidak hanya sebatas pemanggilan pihak terkait saja, namun adanya tindakan tegas pada pelanggar. Bahkan atau mempidanakannya. DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi cetakan ke 7. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta: Jakarta Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta Rivers,William L. Mass media and Modern Society 2nd di alih bahasakan oleh Munandar, Haris dan Priatna, Dudy. 2004. Media Massa dan Masyarkat Modern. Prenada Media: Jakarta Undang-Undang Penyiaran No.32 Th.2002. penerbit SL Media: Tangerang Selatan Wahyuni, Hermin Indah. 2000. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol.4 No.2: Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar Dalam Era Reformasi.Yogyakarta http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2011/07/28/media-dan-realitas/

1 komentar:

  1. wah skarang mah lbih parah lagi knpa setiap tv skarang ini ad artis india mang artis indonesia dah ga ad lagi yang bgus atw gmn sh kok mlh dari luar...indonesia artis nya kan ga bnyak knp hrus orang luar....mksh..

    BalasHapus